Ilustrasi. (BP/ist)

Krisis ekonomi/moneter parah pernah melanda negara-negara Asia seperti Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, termasuk Indonesia, tahun 1997/1998. Dari beberapa negara yang dilanda krisis, Korea Selatan tercatat paling cepat bisa pulih bahkan langsung melejit menjadi salah satu negara dengan perekonomian yang kuat.

Tentu banyak yang ingin memetik pelajaran dari cara Korea Selatan melepaskan diri dari krisis lalu melaju menjadi negara dengan perekonomian kuat. Ternyata, itu tidak lain karena pemerintah setempat dan kalangan pebisnis serta kelompok buruh yang semula selalu bertikai, mau duduk bersama menyepakati sejumlah konsensus.

Mereka menyadari krisis itu musuh bersama, maka mereka harus maju bersama menanggulangi krisis. Tercatat kala itu, para pekerja di sana rela bekerja tanpa upah demi cepatnya perekonomian mereka pulih kembali.

Indonesia saat itu mencoba melakukan gerakan yang mirip, yakni gerakan Aku Cinta Rupiah. Tujuannya, untuk menekan nilai tukar dolar AS yang membumbung tinggi terhadap rupiah, mata uang Indoneia. Namun ternyata gerakan ini tidak membuahkan hasil signifikan.

Baca juga:  BRI Dominasi Pasar Valas Indonesia

Meski tidak separah tahun 1997/1998, perekonomian global saat ini dalam kondisi lesu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 5,08 persen (proyeksi IMF 5,2 persen dan World Bank 5,1 persen). Proyeksi-proyeksi yang disampaikan berbagai badan ekonomi dunia itu, semestinya menjadikan Indonesia sudah harus mengambil pelajaran dari Korea Selatan.

Dalam kondisi perekonomian yang lagi lesu, semua pihak mulai para pemimpin (lembaga negara), pebisnis dan buruh/karyawan menyamakan visi. Semua harus duduk bersama ‘’memerangi’’ kelesuan darah perekonomian ini.

‘’Genderang perang’’ pertama haruslah ditabuh para pemimpin di negeri ini. Mulai dari pemimpin negara, lembaga negara, pemimpin perusahaan negara maupun swasta (BUMN), harus berdiri di garda terdepan menyerukan optimisme dan berbagai strategi menghadapi krisis ini hingga bisa keluar sebagai pemenang seperti halnya Korea Selatan di masa lalu.

Karenanya, sungguh sangat disayangkan jika dalam situasi dan kondisi seperti ini masih ada friksi di antara para pemimpin negeri ini. Masih ada gap antara pemerintah dan pebisnis atau investor. Masih ada perselisihan antara perusahaan dengan pekerja, yang semestinya bisa dicarikan solusi dan suasana bisa dicairkan.

Baca juga:  Membudayakan Bicara Kebenaran

Untuk bisa mengajak semua komponen duduk bersama menyusun strategi menghadapi krisis ini, sangatlah diperlukan seorang pemimpin yang tidak hanya smart atau cerdas, tetapi juga arif dan bijaksana. Diperlukan seorang pemimpin yang bermartabat agar bisa diterima semua kalangan. Karena hanya dengan kearifan dan kebijaksanaanlah semua komponen bisa dibujuk dan diajak berkerja dan berperang bersama-sama. Dengan cara seperti itu pula dulu para pendiri bangsa ini bisa mempersatukan rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan ini. Untuk menjadi pemimpin panutan seperti ini, tentu haruslah dimulai dari diri sendiri. Pemimpin yang tidak hanya smart, tetapi juga bermartabat.

Melahirkan seorang pemimpin bermartabat, tidak dapat dilepaskan dari rekam jejak perilaku yang bersangkutan. Karena itu pula, dalam tiap kali ada pengangkatan pejabat baru selalu ada fit and proper test. Meski telah lolos tahapan ini pun, belumlah menjamin pemimpin tersebut menjadi pemimpin yang bermartabat.

Baca juga:  Kadin Diajak Gaungkan Optimisme di Tengah Ketidakpastian Global

Karena martabat erat kaitannya dengan moral dan etika yang berlandaskan kejujuran dan tahan godaan. Bisa jadi seorang pemimpin yang lolos fit and proper test di tengah perjalanannya malah tergoda berbagai hal berbau materialistis. Ini telah banyak terjadi dan menimpa para pemimpin negeri ini, termasuk sekelas lembaga terhormat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di situlah fungsi kontrol, monitoring dan evaluasi melekat harus benar-benar terus dijalankan.

Kontrol, monitoring dan evaluasi tidak hanya dijalankan oleh lembaga pengawas, tetapi juga harus dilakukan segenap komponen masyarakat. Karena lembaga pengawas tetap mempunyai keterbatasan, sementara godaan datang tiap saat. Tiap sepersekian detik godaan itu selalu datang, tinggal bagaimana kita mempertahankan martabat kita ini. Mempertahankan martabat bangsa ini di pergaulan dan peradaban dunia. Martabat para pemimpin, pebisnis, karyawan/pekerja dan masyarakat akan mencerminkan martabat bangsa ini pada dunia.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *