Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Paulo Freire dari Brazil berjuang untuk melawan sistem pendidikan yang menindas siswa, yang kelak terkenal ke seluruh dunia dengan konsep “sekolah adalah penjara.” Hal ini dikaji dalam berbagai ulasan penting Freire, yang diberi tajuk kritis: “pedagogi penindasan atau pedagogi hitam.” Pada banyak negara berkembang praktik persekolahan yang masih kental dikendalikan oleh sistem pedagogi penindasan.
Di atas segala kerendahan hati, Indonesia kini, di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, dengan tegas akan membongkar dan untuk mengakhiri praktik pedagogi hitam. Di dalam pedagogi ini, guru-guru Indonesia terpenjara. Penjara ini dibangun dalam sistem birokrasi pendidikan di daerah-daerah.
Dalam sistem pendidikan penjara, guru kehilangan kemerdekaan sehingga pengajaran di sekolah tidak berlangsung di alam pikiran dan jiwa yang merdeka dan tidak memerdekakan. Karena itu, Pak Menteri akan membebaskan guru dari ‘’sistem penjara’’ administrasi dan pengawas, agar siswa merdeka belajar dan guru merdeka mengajar, yang merupakan salah satu poin dalam sambutan Pak Menteri pada Hari Guru 2019 yang lalu.
Hilangnya rasa, jiwa, dan pikiran merdeka guru menciptakan suasana pendidikan yang ‘’murung’’, bisu, dan tertekan. Guru menjadi robot. Kerja bagi guru hanyalah rutinitas bertahun-tahun. Guru-guru tidak memiliki keinginan belajar. Guru mengajar untuk memenuhi target administrasi (e-raport, RPP, analisis soal, penilaian proses).
Guru fobia inovasi dan perubahan. Pengajaran berpusat pada diri guru. Guru suka memberi nasihat dan tidak memberi contoh. Guru tidak bangga dengan profesinya. Guru bekerja untuk atasan dan bukan untuk siswa. Guru mengutamakan ‘’bahan habis’’ dan bukan proses belajar. Guru tidak ingin susah. Guru memilih cari aman. Guru menyerah pada siswa bandel. Guru hanya suka mengajar siswa yang pintar. Guru tidak suka membaca buku. Guru saling tertutup satu sama lain. Guru berprestasi dimusuhi oleh guru lainnya, dan seterusnya.
Namun dengan catatan tebal, memang ada terlampau sedikit guru yang hebat, inspiratif bagi siswa, berasa, berpikiran, dan berjiwa merdeka. Kedatangan Bapak Menteri Nadiem Makarim pertama-tama adalah untuk mereka, sebagai legitimasi besar bahwa apa yang guru-guru hebat ini telah lakukan adalah kebenaran pendidikan yang sesungguhnya. Karena itu, isi sambutan Pak Menteri adalah yang sepantasnya bagi guru-guru tipe ini.
Namun hal yang sebaliknya terjadi pada guru-guru terpenjara rasa, jiwa, dan pikirannya. Mereka bergeming, apatis, apriori, sebagaimana hal yang selalu terjadi setiap perubahan dan inovasi mengetuk pintu-pintu sekolah. Maka, belum apa-apa, guru-guru inilah yang berteriak menolak dengan dalih bahwa tugas guru sudah terlalu banyak dan berat.
Memerdekakan guru pun harus melewai tahapan rehabilitasi, rasa, jiwa, dan pikiran. Keadaan ini memang sangat menyedihkan yang tidak jauh beda dengan nasib satwa liar terlindungi, seperti orangutan yang bertahun-tahun dipelihara dalam kandang-kandang yang sempit. Maka Pak Menteri tidak ubahnya seperti aktivis lingkungan yang bekerja keras untuk menyelamatkan orangutan dengan mengembalikannya ke habitat liar. Namun sudah pula dimafhumi, para penyelamat satwa tidak bisa langsung mengambil seekor orangutan atau elang Jawa dari kandang pribadi lalu melarikannya ke hutan. Ada tahapan panjang untuk dilalui: rehabilitasi yang mungkin tidak bisa berhasil seluruhnya karena ada saja satwa yang gagal dan tidak siap pulang ke habitat liar.
Dengan analogi cerita tersebut, memerdekakan guru dimulai dengan melakukan program rehabilitasi. Jika dulu ada banyak pelatihan, seminar, lokakarya, bimbingan teknis, untuk para guru, untuk meningkatkan segala kompetensinya, maka kini justru yang dibutuhkan adalah terapi atau penyembuhan yang mungkin lebih sulit karena masalah kemerdekaan rasa, pikiran, dan jiwa guru memang sudah akut.
Rehabilitasi guru bertujuan untuk mengembalikan guru kepada suatu ranah kesadaran hakiki, yang juga dimiliki oleh manusia pada umumnya agar mereka memiliki kembali rasa, jiwa, dan pikiran merdeka itu. Dengan asumsi bahwa pidato Pak Menteri diterima sebagai kabar kebebasan guru, maka hal ini sudah menjadi faktor penentu yang sangat penting bagi kemerdekaan guru-guru di Indonesia.
Tetapi jika pada umumnya guru tidak paham dengan isi pidato tersebut, maka agenda pembebasan guru dari ‘’penjara’’ birokrasi pendidikan di daerah-daerah, tidak bermakna apa-apa. Guru untuk kesekian kalinya menunjukkan sikap antiperubahan dan dalam hal ini jelas kiranya: mereka tidak memerlukan rasa, pikiran, dan jiwa merdeka.
Rehabilitasi guru mau tidak mau harus dilakukan untuk memulai perubahan nyata pada setiap diri guru yang dilakukan oleh guru bersangkutan. Hal ini bisa dikerjakan oleh seorang guru untuk bisa melihat realitas nyata siswa di dalam kelasnya.
Ia mendengar cerita seorang siswa yang selalu diejek oleh teman-temannya karena ia laki-laki yang feminin. Guru ini mencoba mendiskusikan masalah ini dengan guru lainnya di ruang kelas.
Ia juga menyelenggarakan rapat kelas yang tidak dihadiri oleh siswa yang bermasalah itu agar pembicaraan lebih terbuka. Di sini, ia mengambil keputusan untuk mulai bisa menerima siswa tersebut secara apa adanya.
Guru yang melakukan perubahan kecil pada dirinya secara nyata, yang dilandasi oleh rasa, pikiran, dan jiwa merdeka bahwa dirinya bekerja untuk siswa di kelasnya dan bukan untuk kepala sekolah, pengawas, atau kepala dinas; menimbang bahwa apa yang dilakukan di luar kurikulum adalah hal yang sangat penting. Jadi, jika peran guru disebut dengan ‘’tugas’’, maka tugas guru yang merdeka tidak hanya mengajar di bawah ‘’hukum’’ kurikulum tetapi juga mengajak semua siswa di satu kelas untuk terlibat langsung dalam memecahkan persoalan teman-temannya.
Guru merdeka tidak lagi hanya mengejar bahan habis lalu siap tes objektif dan jika hasil jelek skor bisa dikatrol ‘’semau gue’’ asal tidak diketahui oleh siapa pun. Guru merdeka akan mengembangkan cara-cara dan iklim belajar yang merdeka dan memerdekakan. Karena itu, belajar adalah untuk terampil hidup dengan cara mempelajari masalah hidup itu sendiri dan mencari jalan keluar bersama. Inilah pendidikan yang merdeka dan memerdekakan sekaligus mendewasakan.
Inilah yang dimaksud dengan perubahan kecil dan mendasar yang bisa dilakukan oleh semua guru asal guru tersebut telah kembali kepada fitrah yang merdeka rasa, pikiran, dan jiwanya. Maka siswa akan merasakan iklim sekolah yang baru. Hari-hari yang penuh makna. Ada kepedulian untuk semua siswa dan dari semua guru. Sekolah mulai meninggalkan retorika basa-basi omong kosong.
Esai ini bermaksud memberi satu contoh kecil bagaimana cara seorang guru dapat menindaklanjuti sambutan Pak Menteri, tanpa harus menunggu seminar atau lokakarya rehabilitasi guru merdeka. Esai ini bertujuan pula untuk memicu rasa, pikiran, dan jiwa merdeka guru yang dapat dimulai di kelasnya sendiri.
Penulis, dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali