Oleh Agung Kresna
Hanya di Bali ada tempat sembahyang — berupa palinggih atau pelangkiran — di area ladang pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian menjadi denyut nadi kehidupan keseharian krama Bali.
Generasi Bali masa kini mungkin kurang menyadari bahwa pada hakikatnya pertanian menjadi tumpuan kehidupan perekonomian masyarakat Bali. Hal ini jelas terlihat dalam keseharian kehidupan krama Bali yang sejalan dengan tatanan musim, sebagaimana siklus pertanian. Segala jenis upakara dalam kehidupan krama Bali selalu dalam bingkai hitungan alam, sejak triwara, panca wara, sapta wara, wuku hingga sasih.
Banyak pihak lupa bahwa industri pariwisata yang saat ini menyerbu Bali dengan tawaran gelimang dolarnya, pada dasarnya berawal dari eksotiknya kehidupan pertanian dan alam Bali. Sejak para wisatawan secara khusus datang ke Bali pada dasawarsa 20-an menggunakan jalur pelayaran mingguan Bali Express, keeksotikan alam pertanian Bali tersebar ke seluruh penjuru dunia. Utamanya sejak Walter Spies — seorang pelukis dan musikus Jerman — menetap di Bali pada 1927 dan menebarkan lukisan bertema alam pertanian Bali.
Pertanian Bali sudah tumbuh dan berkembang menjadi mata pencaharian utama krama Bali jauh sebelum pariwisata menjadi penggerak roda ekonomi Bali. Budaya bertani Bali telah melahirkan tatanan fisik lahan sawah berundak/terasering eksotik yang mendunia, beserta tatanan manajemen air sawah/subak yang diakui sebagai warisan budaya dunia. Budaya bertani krama Bali berlanjut melahirkan tradisi kesenian, handicraft dan upakara dalam keseharian krama Bali sebagai manifestasi jati diri kehidupan kebudayaan masyarakat Bali.
Seiring berjalannya waktu, deru mesin ekonomi global menyerbu Bali melalui industri pariwisata. Modernisasi ekonomi secara perlahan namun pasti telah mengubah wajah ekonomi Bali. Gemerlap industri pariwisata pun membawa perubahan sosio-kultural dalam masyarakat Bali. Masyarakat agraris Bali yang bersifat komunal penuh kemitraan, mulai bergeser menjadi masyarakat jasa yang bersifat lebih invidual dan kompetitif.
Ironi budaya bertani Bali masih berlanjut. Hasil dari kebun dan sawah yang sebelumnya mendominasi sebagai sarana upakara bagi segenap krama Hindu Bali, saat ini mulai bergeser dengan digunakannya produk instan dari pabrik dalam kemasan sachet atau can/kaleng. Atau mendatangkan hasil kebun/sawah dari luar Bali. Saat ini pun kejayaan salak Bali, jeruk Kintamani, kopi Singaraja maupun manggis atau apel Bali hanya tinggal nama tanpa fakta.
Upaya pemerintah daerah untuk memacu produk pertanian lokal Bali juga terus dilakukan. Antara lain melalui kehadiran Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal. Kemudian berlanjut dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali.
Masyarakat Bali sebenarnya sudah makmur sejahtera secara ekonomi, jauh sebelum adanya gelimang dolar dari pariwisata. Ribuan pura megah di Bali telah berdiri tegak, mampu dibangun oleh krama Bali dari keuntungan finansial yang dinikmati petani krama Bali dari produk pertanian. Hal ini berlangsung sebelum deru industri pariwisata melanda Bali. Di sisi lain, industri pariwisata yang sering disebut memberi multiplier effect ekonomi paling banyak, justru patut dipertanyakan. Ada seberapa banyak sebenarnya keuntungan finansial yang diperoleh krama Bali dibanding risiko degradasi budaya dan lingkungan yang menimpa Bali. Sebandingkah dengan gelimang dolar yang masuk ke kantong para investor, yang entah berada di belahan dunia nun jauh di sana.
Akar ekonomi keseharian krama Bali sebenarnya berada pada budaya pertanian masyarakat Bali. Denyut budaya pertanian krama Bali jugalah yang kemudian menghasilkan tradisi kebudayaan krama Bali yang berlangsung secara turun-temurun. Eksotisme yang dipancarkan dari budaya pertanian Bali dengan diiringi keelokan budaya tradisi kesenian Bali itulah yang mengundang wisatawan, hingga Bali berjuluk Pulau Dewata.
Tingginya kebutuhan akan hasil pertanian dari kebun, ladang, dan sawah bagi keseharian kehidupan krama Bali — utamanya sebagai sarana upakara — menunjukkan bahwa budaya pertanian memang menjadi jati diri krama Bali. Sayangnya pertanian saat ini dipandang sebelah mata, tidak digarap sebagai ladang ekonomi krama Bali. Akibatnya kebutuhan sarana upakara yang terus meningkat, justru menjadi ladang ekonomi masyarakat dari luar Pulau Bali.
Ironi budaya petanian tidak berhenti di sini. Ketidakseriusan menggarap budaya pertanian Bali juga terlihat dari melimpahnya cendekiawan bidang pertanian, namun tidak diimbangi dengan karya nyata di lapangan. Sehingga tidak salah jika ada pendapat yang menyatakan bahwa meski lebih dari seratus doktor pertanian ada di Bali, namun Bali tetap saja tidak mampu menangani masalah penyakit cabai, jeruk, dan pisang.
Kejayaan budaya pertanian Bali harus dibangkitkan kembali. Karena jelas ada potensi ekonomi yang sangat besar di sana. Ada kebutuhan pasar Bali akan produk-produk pertanian yang cukup tinggi. Namun hal ini belum bisa dipenuhi oleh para petani Bali.
Pertanian Bali harus digarap secara lebih serius dan komprehensif, agar dapat menjadi ujung tombak dan roda penggerak utama perekonomian Bali. Sehingga pada gilirannya akan dapat mengembalikan kejayaan budaya pertanian Bali. Sektor pertanian merupakan sektor primer yang memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap guncangan ekonomi.
Sementara sektor pariwisata adalah sektor tersier yang rentan terhadap gangguan stabilitas ekonomi dan keamanan. Sehingga Bali akan menghadapi kerentanan gangguan perekonomian krama Bali, jika tetap menempatkan sektor pariwisata sebagai roda penggerak utama perekonomian Bali.
Harus ada perubahan paradigma dari para stakeholders dalam memahami pertanian, agar bidang ini dapat kembali menjadi ujung tombak ekonomi Bali. Pertanian harus dilihat dalam konteks masa kini yang dikerjakan dalam pola industrial farming. Digarap dengan sentuhan teknologi tinggi, sejak pembibitan, pembudidayaan, hingga pascapanen.
Pertanian harus mencakup unsur agroteknologi (teknologi tanah dan yang dibudidayakan), agroindustri (industri & teknologi pengolahan hasil pertanian), dan agrobisnis (optimalisasi profit bidang pertanian secara keseluruhan, sejak bibit, pupuk, peralatan, budi daya hingga distribusi dan pemasarannya). Harus berwujud smart-farming, dengan sentuhan information technology.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar