Isu terpinggirkannya sektor pertanian sudah lama menjadi wacana di Bali. Strategi dan janji keberpihakan politik terhadap pertanian juga sering terdengar. Namun, praktiknya laju pertumbuhan sektor pariwisata dan upaya pelestarian sektor pertanian sangat pincang.
Bahkan, ada kesan kita abai dan tidak berpihak menjaga akar peradaban kita. Kita atau sebagian dari kita sangat fasih bicara bahwa pertanian adalah roh dari budaya dan peradaban Bali. Namun, kenyataannya kita sangat tak berpihak pada lahan pertanian.
Ketidakberpihakan itu makin kuat ketika pejabat publik kita terjebak obsesi peningkatan perekonomian lewat investasi. Maka pembangunan hotel, vila bahkan industri juga menjamah kawasan pertanian. Dalam konteks ini, kita juga abai dan membiarkan bangunan berkedok investasi pariwisata menjamah persawahan produktif. Pada titik inilah kita harus segera melakukan reorientasi kebijakan dan cara berpikir untuk membangun keseimbangan dan keharmonisan. Menjaga lahan pertanian dan tetap memberi ruang investasi harus dirumuskan berdasarkan kajian yang matang.
Dalam lima tahun ke depan, kita bisa berharap pemimpin Bali bervisi ke depan dalam menjaga dan mengembangkan adat dan peradaban Bali. Ini kata kunci untuk mempertahankan Bali dengan ciri khasnya dalam agama dan budaya. Tanggung jawab moral pemimpin Bali, baik bupati, wali kota bahkan Gubernur Bali haruslah merujuk identitas dan jati diri Bali. Pemimpin Bali harus paham Bali, bukan menjadi alat pemodal terlebih menjadi kacung politik saja. Jelas dan terukur, pemimpin harus bervisi ke depan untuk memastikan pembangunan Bali memiliki orientasi yang jelas untuk menjaga keseimbangan ekosistem Bali. Keharmonisan haruslah menjadi rujukan program.
Dalam hal ini tentu kita harapkan terbangun konstelasi keharmonisan dan keseimbangan dalam menata kehidupan Bali ke depan. Keseimbangan dan keberlanjutan haruslah menjadi rujukan, jika Bali ingin tetap bisa mengawal pertaniannya dan tetap bisa bertumbuh dalam industri pariwisata. Hal ini memang memerlukan keberpihakan dan dukungan politis. Bahkan, ketegasan krama Bali untuk menolak investasi salah peruntukan terlebih menjamah lahan pertanian harus dijabarkan. Kita tak boleh diam, ketika lahan-lahan pertanian produktif dibangun secara liar dan nyaris tanpa kontrol pihak pemerintah, petani Bali harus bangkit. Jangan lemah dan menyerah pada situasi yang terkadang dikondisikan oleh pejabat kita.
Kita juga berharap ada penegakan hukum yang jelas bagi pelanggaran tata ruang di Bali. Jika selama ini banyak manipulasi perizinan dengan mengabaikan zona kawasan, maka ke depan hal-hal seperti ini harus ditindak. Bupati atau perangkat desa hingga kecamatan yang merekomendasikan investasi yang melanggar peruntukan kawasan tertentu harus diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Mereka tak boleh gegabah meneken perizinan jika kita sepakat menjaga keharmonisan alam Bali. Kita harus tetap komit menjaga pertanian di tengah derasnya investasi pariwisata masuk Bali.
Pendekatan ekonomis dan pengelolaan pariwisata di Bali haruslah tetap ramah lingkungan. Jangan sampai pendekatan pemerintahan yang bertumpu pada peningkatan ekonomi mengabaikan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan. Perlu juga kita catat bahwa Bali akan kehilangan jati dirinya jika tumbuh dengan memprioritaskan investasi tanpa memperhatikan keseimbangan alam dan budaya Bali. Ekonomi Bali juga akan labil ketika daya dukung penggerak ekonomi bukanlah pengusung budaya Bali, yang menjadi kekuatan ekonomi pariwisata Bali.