Pariwisata Bali tak perlu lagi ditambah embel-embel wisata halal dan segalanya. Taksu Bali secara holistik sudah memberi fibrasi positif pada alam dan apa saja yang ada di bumi Bali. Ini semua karena Bali memiliki taksu spesial yang berpijak pada adat dan budaya Bali serta agama Hindu. Justru sumber taksu Bali adalah para pendukung budaya Bali itu sendiri, yakni manusia Bali.
Kita perlu banyak belajar dari Jakarta yang akibat tak selektif menerima perkembangan zaman serta lupa memberdayakan manusia pendukung budayanya kini makin terpinggirkan. Jika kita tak ngeh (sadar – red) dari sekarang, nasib manusia Bali akan sama dengan suku Betawi yang menjadi penonton di tengah bergelimangnya rupiah di Jakarta.
Kata kuncinya para pemimpin Bali, krama Bali, dan penduduk Bali harus memberdayakan SDM pendukung budaya Bali. Jika ini hilang kita yakin tak ada lagi kebalian di Bali. Bali tak akan BALI lagi, yakni Bersih, Aman, Lestari dan Indah. Maka benar kata IGK Manila bahwa kita perlu merawat dan menjaga pariwisata Bali sesuai dengan taksu kita, bukan membuat taksu baru.
Nah, soal penyiapan fasilitas pendukung pariwisata Bali perlu kita pikirkan. Sebab, jika kita serius mengelola sektor pariwisata dipastikan akan terjadi peningkatan akses demi kenyamanan, aman, dan kecepatan. Jika Bali terus dibangun jalan baru, itu juga banyak mengalami kendala karena di Bali kita mengenal banyak tempat suci, subak, banjar, dll.
Sehingga ketika dibangun jalan baru banyak berbenturan dengan fasilitas sosial religius tersebut. Namun, jika dibangun sejenis MRT dan lain-lain kita khawatirkan akan berdampak pada mata pencaharian krama Bali. Para sopir taksi, angkutan pariwisata, dll. akan kehilangan pekerjaan. Ini artinya uang akan terkonsentrasi pada kapitalis tertentu.
Lihat saja Thailand, mereka membuat berbagai pintu masuk ke sejumlah objek wisata, namun angkutan tradisional seperti Tuk-tuk dan pasar tradisionalnya tetap dipertahankan. Di situlah basis ekonomi masyarakatnya. Kita tak boleh ingin serba maju namun warga kita keteteran.
Untuk mempercepat akses transportasi ke Bali yang sebenarnya perlu kita garap. Kita bisa mencontoh Tiongkok dengan kereta api supercepat bawah tanah, mereka bisa menghubungkan para pelancong antarprovinsi. Namun begitu mereka tiba di sebuah provinsi dan objek wisata, mereka tetap mewajibkan menggunakan angkutan penghubung.
Jika di Bali semua titik objek wisata bisa dihubungkan oleh kereta cepat, misalnya, dipastikan makin banyak angka pengangguran di Bali. Lagi pula kapan warga Bali menikmati pariwisata Bali kalau semua uang mengalir ke kapitalis tertentu.
Diperlukan iktikad baik guna memberdayakan pendukung budaya Bali. Kita setuju dengan Perda Desa Adat dan tokoh masyarakat memperjuangkan kekhususan Bali. Contoh yang paling sederhana, dari sekian triliun pemasukan Bandara Ngurah Rai, berapa rupiah masuk ke kas daerah dan pemberdayaan masyarakat Bali. Termasuk apa yang kita dapatkan dari pelabuhan strategis lainnya. Ayo anggota DPR-RI, Senator Bali dan anggota Dewan lainnya yang terhormat untuk bersiap memperjuangkan nasib Bali demi taksu Bali.