Oleh I Putu Sudibawa
Pemikiran Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Pd., Dosen Undiksha Singaraja, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali yang dimuat Bali Post, 12 Desember 2019 tentang Rehabilitasi Guru Merdeka menggelitik guru untuk bergerak menuju perbaikan. Disitir dengan halus, bahwa guru yang melakukan perubahan kecil pada dirinya secara nyata, yang dilandasi oleh rasa, pikiran, dan jiwa merdeka bahwa dirinya bekerja untuk siswa dikelasnya dan bukan untuk kepala sekolah, pengawas, atau kepala dinas; menimbang bahwa apa yang dilakukan di luar kurikulum adalah hal yang sangat penting.
Semangat yang digelorakan ini mudah-mudahan bisa menyadarkan kita, bahwa di tengah geliat perubahan yang menggeletar, refleksi pada tatanan budaya dan kebangsaan juga harus makin dahsyat. Sisipkan semangat merebut kembali apa yang kita punya dalam proses mengajar belajar. Apakah pekerjaan yang lebih mulia, atau yang bernilai bagi negara, daripada mereka yang mengajar generasi yang sedang bertumbuh?
Merdeka itu bagi seorang guru adalah merdeka berkreasi, dan mau belajar. Guru haruslah sudah mengubah pendekatan, dari tanggung jawab mencapai nilai belajar tinggi, menjadi tanggung jawab keberhasilan karakter dan potensi anak.
Dari guru yang sebatas mendalami ilmu untuk kepentingan kurikulum, menuju seorang insan intelektual yang gelisah, yang selalu mencari jalan yang mudah yang menyenangkan untuk masuk dan membentuk alam pikir anak. Inti keberhasilan dan kebahagiaan seorang guru merdeka dan profesional, mampu mencapai titik kepuasan yang berhasil membuatkan jalan bagi masa depan siswa.
Adanya perubahan dari yang berorientasi pada nilai akademik siswa, menuju ke pembentukan kepribadian siswa, membentuk kepercayaan diri, dan melejitkan potensi-potensinya, menjadi seorang pembelajar sejati yang menggali makna di balik setiap materi ajar. Meminjam sitiran dari Rhenald Kasali, para guru tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.
Semangat untuk mewujudkan guru penggerak, juga ditegaskan dalam pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim menyambut Hari Guru 2019, mengajak guru untuk melakukan perubahan mendasar, ‘’apa pun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak’’.
Bapak Menteri juga mengajak agar setiap guru melakukan perubahan yang selama ini belum tersentuh. ‘’Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar. Berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas.
Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri. Tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan’’. Keseriusan mewujudkan guru penggerak, Kemendikbud telah mengeluarkan 4 kebijakan mendasar di tahun 2019 ini, Kebijakan Ujian Nasional (UN), Kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Kebijakan Zonasi Tahun Ajaran 2020/2021.
Mulai tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kedua asesmen baru ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan secara nasional. Asesmen kompetensi pengganti UN mengukur kompetensi bernalar yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di berbagai konteks, baik personal maupun profesional (pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang akan diukur masih dikaji, namun contohnya adalah kompetensi bernalar tentang teks (literasi) dan angka (numerasi).
Selain itu, Kemendikbud juga akan melakukan survei untuk mengukur aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini mencakup aspek-aspek karakter siswa (seperti karakter pembelajar dan karakter gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, perilaku bullying, dan kualitas pembelajaran). Karena fungsi utamanya adalah sebagai alat pemetaan mutu, asesmen kompetensi dan survei pembinaan Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua siswa.
USBN dikembalikan pada esensinya, yaitu asesmen akhir jenjang yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Kelulusan siswa pada akhir jenjang memang merupakan wewenang sekolah yang didasarkan pada penilaian oleh guru. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas dan juga prinsip pendidikan bahwa yang paling memahami siswa adalah guru. Selain itu, asesmen akhir jenjang oleh sekolah memungkinkan penilaian yang lebih komprehensif, yang tidak hanya didasarkan pada tes tertulis pada akhir tahun. Hal ini juga mendorong sekolah untuk mengintensifkan dan memperluas pelibatan guru dalam semua tingkat dalam proses asesmen.
Guru-guru sering diarahkan untuk menulis RPP dengan sangat rinci, sehingga banyak menghabiskan waktu yang seharusnya bisa lebih difokuskan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Efisien berarti penulisan RPP dilakukan dengan tepat dan tidak menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Efektif berarti penulisan RPP dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berorientasi pada murid berarti penulisan RPP dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan, ketertarikan, dan kebutuhan belajar murid di kelas.
Dalam Permendikbud terbaru terkait PPDB, pemerintah pusat memberikan fleksibilitas daerah dalam menentukan alokasi untuk siswa masuk ke sekolah melalui jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan orangtua/wali, atau jalur lainnya (dapat berupa jalur prestasi). Persentasenya pun berubah menjadi sebagai berikut: Jalur zonasi minimal 50%, jalur afirmasi minimal 15%, jalur perpindahan orangtua/wali maksimal 5%. Jika ada sisa kuota, jalur prestasi dapat dibuka, bisa berdasarkan UN ataupun prestasi akademik dan non-akademik lainnya, jalur ini, dengan demikian, maksimal 30%.
Perubahan kebijakan pendidkkan dengan beragam julukannya, tidak akan membawa perbaikan yang signifikan manakala manusia dewasa yang bernama guru itu tidak memahami dan menjalankan profesinya secara kreatif dan bertanggung jawab. Guru adalah ujung tombak pendidikan, sementara birokrasi pendidikan hanyalah motivator untuk melejitkan kecerdasan dan kreativitas mereka.
Guru yang cerdas dan kreatif tentu paham tentang hak kebebasannya berekspresi dan berkreasi, sehingga tidak selalu dalam bayang-bayang kekhawatiran ‘’salah prosedur’’ atau menyalahi standar birokrasi. Pendidikan formal masih merupakan institusi yang paling efektif untuk menyebarkan gagasan-gagasan pembaruan dan demokrasi dibandingkan institusi lain. Selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik.
Pekerjaan menyemai benih-benih itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam menyemai benih-benih untuk menuju sebuah pencerdasan. Sayangnya, profesi guru itu telah mati atau memang sengaja dimatikan agar guru tidak memiliki kemandirian dalam menyiapkan lahan, memberi pupuk, dan menyemai benih-benih yang sedang tumbuh. Tugas guru dalam penyiapan lahan, pemberian pupuk, dan penyemai senantiasa akan tergantung pada yang memberikan komando atau instruksi.
Meskipun guru memiliki cara lain dalam penyiapan lahan yang subur, memupuk yang rata, dan menyemai yang baik, bila cara itu tidak sesuai dengan kehendak si pemberi komando, maka tidak dapat diterapkan, bahkan sebaliknya guru dapat dicap sebagai pembangkang. Stigmatisasi semacam itu jelas kurang menguntungkan bagi kehidupan guru sehari-hari. Guru, sangat mungkin dalam menjalankan profesi bertentangan dengan hati nuraninya (mengalami konflik batin). Guru paham bagaimana harus menjalankan profesinya sebagai penyiap ladang, pemupuk, dan penyemai yang baik.
Penulis, Kepala SMAN 1 Rendang, Guru Ajeg Bali 2007