Ibu-ibu PKK se-Desa Belega mengikuti pelatihan pembuatan roti dan kue di Balai Banjar Belega Kanginan, Jumat (1/11). (BP/Istimewa)

Oleh Tjokorda Istri Mas Kartikawati, S.E., M.Si.

Kaum ibu yang belakangan populer dengan sebutan emak-emak terbukti menyimpan potensi yang sangat besar. Pada perhelatan politik yang baru lalu, persatuan mereka memberi pengaruh signifikan pada perolehan suara kandidat yang mereka sokong. Terlepas dari adanya upaya pihak tertentu menggerakkan dan memobilisasi mereka, yang pasti potensi tersebut tak boleh dipandang sebelah mata.

Di sisi lain, ketika berbicara mengenai adanya pihak tertentu yang menggerakkan dan memobilisasi mereka, terasalah bahwa emak-emak harus lebih berdaya. Terutama dalam pada ranah intelektual sehingga potensi besar mereka tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain ke luar dari aspirasi mereka yang sesungguhnya.

Berkait politik, peran emak-emak (baca: perempuan) telah dijamin secara konstitusional oleh negara. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik menjamin kepentingan perempuan dengan menetapkan kuota sedikitnya harus ada 30 persen perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat dan pada bakal calon anggota lembaga legislatif. Walau demikian keterwakilan perempuan dalam politik saat ini tetap saja memprihatinkan. Harapan pada keterwakilan perempuan dalam kancah politik ibarat jauh panggang dari api.

Di Bali, partisipasi emak-emak di ranah publik tergolong sangat redup. Di parlemen, level partisipasi tertinggi perempuan Bali baru 9,09 persen saja (Putu Simpen Arini, 2019). Memang itu sudah meningkat dibanding tahun 2014 yang hanya mencapai 4,5 persen. Namun secara umum keterlibatan emak-emak Bali di kancah politik sejauh ini masih sekadar pelengkap proses semata.

Baca juga:  Menjadi Teladan Gerakan Membaca

Berbeda dengan politik, saat ini peran emak-emak di bidang perekonomian di Indonesia amatlah besar. Mereka berperan cukup dominan khususnya di ranah mikro-ekonomi hingga ekonomi rumah tangga. Menurut Dr. E. Kristi Poerwandari (2015), peran emak-emak di bidang ekonomi terutama terjadi pada masyarakat kurang mampu.

Meski demikian, menurut psikolog gender yang juga Wakil Ketua Program Pascasarjana Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia tersebut, masih juga terdapat banyak batu sandungan yang menghambat peran emak-emak untuk menjalankan perekonomian keluarga dan masyarakat. Menurut Kristi, hingga saat ini emak-emak yang secara aktif bergerak di bidang ekonomi masih terbentur beban-beban majemuk di rumah mereka. Yang memprihatinkan, sering kali peran besar emak-emak dalam menjalankan perekonomian keluarga tidak diakui sama sekali.

Diduga sistem patriarki yang masih kuatlah yang menyebabkan partisipasi emak-emak di ruang publik sangat lemah. Sistem yang memberi ruang dominan pada setiap pengambilan keputusan kepada kaum laki-laki telah membuat bawah sadar kaum perempuan mengembangkan citra diri sebagai subordinat kaum laki-laki di segala segi kehidupan.

Sesungguhnya apa pentingnya mendorong peran emak-emak di ruang publik? Jawabnya, selain untuk alasan kesetaraan gender dan hak emansipasi, peran perempuan di ruang publik sangat penting untuk memberi warna feminin pada kebijakan-kebijakan publik. Pikiran-pikiran feminin yang lembut di ruang publik memberi keseimbangan bagi kebijakan-kebijakan maskulin yang cenderung keras. Selain itu, sangat banyak aspirasi emak-emak sebagai warga negara dan penyangga keluarga yang hanya dapat diartikulasikan dengan baik oleh kaum emak-emak sendiri.

Baca juga:  Ekonomi Biru, Solusi Perkuat Ketahanan Pangan

Lalu apa upaya yang dapat dilakukan untuk melibatkan lebih banyak lagi partisipasi emak-emak di ruang publik? Menurut hemat penulis, karena rendahnya partisipasi mereka di ruang publik disebabkan oleh paradigma patriarki yang membuat kaum emak-emak di Bali menganggap diri mereka sebagai warga kelas dua di bawah laki-laki, maka paradigma tersebutlah yang harus dibongkar dan diluruskan.

Bagaimana caranya? Salah satunya dengan mengadakan gerakan literasi menyeluruh dan berkesinambungan terkhusus di kalangan emak-emak. Melalui gerakan ini pada saatnya nanti bermunculan emak-emak di Bali yang pandai memosisikan diri secara proporsional sesuai peran dan kapasitas masing-masing. Tidak lagi merasa inferior di depan kaum laki-laki, tidak juga bersikap mentang-mentang di hadapan mereka. Mengenai gerakan literasi, sebagaimana diketahui, kemampuan literasi bangsa kita memang masih sangat rendah dibanding negara-negara lain di dunia.

Baca juga:  Pembelajaran Berbasis Literasi

Satria Dharma, tokoh literasi nasional, beberapa tahun lalu menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian Program for Internation Student Assessment (PISA) menyebutkan, budaya literasi masyarakat Indonesia berada pada posisi 64 dari 65 negara.

Maka gerakan literasi dalam berbagai bentuk, khususnya bagi emak-emak, sudah menjadi hal yang mendesak saat ini. Pendirian perpustakaan desa, pemasangan free WiFi di balai-balai desa, dan sebagainya yang sudah baik saat ini tak boleh hanya terhenti pada penyediaan sarana fisik semata.

Harus ada program terencana dan berkelanjutan untuk merangsang para emak rajin membaca. Selanjutnya program tersebut harus dibarengi dengan program lanjutan yang membuat para emak mampu menghayati bacaan yang mereka baca serta mampu menyampaikan hal-hal baiknya ke pihak lain melalui tulisan atau cerita.

Jika berkembang, hasil dari gerakan literasi ini bukan semata soal membaca, menulis, dan bercerita. Gerakan tersebut akan melampaui aktivitas itu. Ia akan membentuk dan memengaruhi bagaimana sistem dan mekanisme kehidupan sosial, ekonomi dan politik, bahkan kehidupan kebudayaan kita. Emak-emak dan anak-anak mereka akan tidak mudah lagi ditipu berita hoax. Mereka juga akan semakin percaya diri karena merasa memiliki pengetahuan setara dengan yang dimiliki kebanyakan orang.

Penulis adalah Kasi Layanan dan Pelestarian pada Dinas Kearsipan dan Perpustaan Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *