DENPASAR, BALIPOST.com – Anugerah Bali Brand kembali dianugerahkan kepada pengusaha dan seniman Bali. Tahun 2019 diberikan kepada enam pengusaha, seniman dan tokoh Bali yang produk dan karyanya menginspirasi generasi Bali untuk bangkit dan berkarya. Selain menginspirasi, juga produk yang dihasilkan sudah dikenal luas, bahkan sampai ke mancanegara.
Berikut enam brand yang diberikan Anugerah Bali Brand :
1. Babi Guling Bu Oka
Banyak wisatawan yang datang ke Ubud untuk mencoba kuliner Babi Guling Bu Oka. Kuliner khas Bali ini menjadi ikon untuk kawasan wisata Ubud. Meski diminati banyak WNA, kuliner milik wanita bernama lengkap A.A. Oka Sinar ini tetap konsisten menggunakan bumbu Bali.
Ia menuturkan bahwa usahanya yang sekarang ini hanya melanjutkan usaha milik mertua. ‘’Dulu mertua berjualan di sana (Pasar Ubud),’’ ucap Bu Oka kelahiran Desember 1945 itu.
Selain berjualan di pasar, kala itu Bu Oka juga berjualan di tempat tajen. Demikian pula panglingsir Puri Saren Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati juga memintanya untuk tetap berjualan di balai banjar dekat Puri Saren Ubud. ‘’Kala itu panglingsir Puri Tjokorda Putra meminta berjualan di Balai Banjar Tengah Ubud sekitar tahun 1980-an,’’ katanya.
Kala itu bersamaan dengan Ubud yang baru melejit sebagai kawasan desa wisata, sehingga Bu Oka langsung mendapat langganan WNA yang tengah berlibur ke Ubud. ‘’Tjokorda Putra yang memperkenalkan kuliner saya ke wisatawan, sampai sekarang menjadi langganan,’’ katanya.
Sampai saat ini ia tidak mau menggunakan bumbu instan. ‘’Rempah-rempah saya ambil dari Klungkung,’’ katanya. Ia pun kini memiliki tiga restoran di seputaran Ubud. ‘’Kalau musim sekarang, tamu China yang banyak. Eropa ada juga,’’ katanya.
2. Sedotan Bambu
Kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster membatasi pemakaian pelastik melalui Pergub Bali No. 97 Tahun 2018 memunculkan ide kreatif untuk menciptakan produk nonplastik. Seperti dilakukan I Gede Suarsa Aryawan alias Suarsa Popok (36) asal Banjar Dinas Tengah, Desa Sinabun, Kecamatan Sawan. Dia menciptakan sedotan terbuat dari bambu.
Selain sedotan, karya berbahan bambu seperti gantungan kunci, pulpen, tempat puntung rokok (asbak) hingga lukisan wayang di atas bilah bambu. Ia menceritakan awal dirinya membuat karya dari bambu dengan ciri khas lukisan dari bara api. “Sejak awal saya sudah punya bayangan mau membuat lukisan wayang di bambu. Alatnya memakai daya listrik dan memang lama prosesnya sampai ketemu alatnya,” katanya.
Pembuatan lukisan di atas bambu pun tak gebyar. Akhirnya tercetus ide membuat pipet dari bamboo setelah keluar pergub. Lukisan yang dibuat pada pipet bambu bercorak patra. Namun, corak lukisan itu bisa dibuat berbeda tergantung dari pesanan, mulai dari nama hingga nama tokoh pewayangan. “Saya coba membuat pipet dari bambu, agar lebih menarik ditambah lukisan bambu pipet itu agar memiliki ciri khas,” jelasnya.
3. Gus Teja
Gus Teja, salah satu seniman asal Bali yang mendunia. Pria dengan nama lengkap Agus Teja Sentosa, S.Sn. ini mulai melejit lewat karya ‘’Morning Happiness’’. Hingga kini bapak dua anak ini terus bereksperimen dengan alat musik tradisional. ‘’Semasa kecil orangtua pernah membuatkan seruling, walau waktu itu nadanya masih tidak beraturan, tetapi saya senang sekali,’’ ujarnya
Kegemaran terhadap seruling, terus ia bawa hingga belajar di SMAN 3 Denpasar. Gus Teja yang mulai beranjak remaja itu pun mulai belajar membuat seruling ke sejumlah seniman di Desa Peliatan, Ubud. ‘’Sampai akhirnya saya bisa membuat alat musik sendiri, khususnya seruling. Saya juga suka bereksperimen dengan musik bambu, jadi sudah biasa waktu itu saya berjualan seruling,’’ katanya.
Semasa SMA hingga kuliah di ISI, ia mulai membuat grup band. Kala itu ia sudah mulai mengolaborasikan musik tradisi dengan modern. Ia pun terus bereksperimen khusus menggunakan alat musik tingklik, seruling hingga selonding.
Gus Teja akhirnya menciptakan lagu pertamanya ‘’Wisspering Of Hopes’’ pada 2008. Karya perdana ini pun dibuat dengan studio di halaman rumahnya. Lagu ini pun lantas diedit menjadi 8 hingga menjadi satu buah album.
4. Perajin Arak Bali, I Wayan Darsana
Warga Desa Tri Eka Buana, Sidemen, Karangasem sebagian besar sebagai perajin arak untuk menopang kehidupan keluarga. Salah satunya, I Wayan Darsana. Dia menjadi perajin arak sejak masih duduk di bangku SMP.
Ia mengakui dirinya memang lahir dari keluarga perajin arak. ‘’Sejak SMP sudah ikut membantu membuat arak. Kini pekerjaan ini menjadi penopang ekonomi keluarga,’’ ucapnya.
Untuk mendapatkan tuak sebelum diolah menjadi arak, dirinya sehari bisa memanjat 30 pohon kelapa. Sehari bisa mendapatkan sekitar 30 liter tuak. ‘’Kalau sampai diolah menjadi arak, dapat 10-15 liter arak,’’ katanya.
Selama ini hasil arak yang diproduksi dijual di warung di seputaran rumahnya. Termasuk dijual kepada pengepul yang mencari langsung ke rumahnya.
Diakuinya, sampai saat ini perajin arak di Sidemen ini masih dirundung rasa dilema. Pasalnya, keberadaan arak masil ilegal, sehingga masih melanggar hukum. Untuk itu, pihaknya sangat berharap rencana adanya perda arak dari Gubernur Bali Wayan Koster bisa segera terealisasikan. Dengan begitu, dirinya dan perajin arak lainnya bisa leluasa menjalankan usaha karena sudah dilindungi perda.
5. Coco Group
SDM tumbuh, brand pun tumbuh. Demikian komitmen Nengah Natya, Owner Coco Group, mengembangkan brand-nya. Terbukti brand-nya mampu eksis dari 2006 hingga saat ini. ‘’Untuk mempertahankan brand ini, memang harus ada beberapa hal yang harus di-maintenance. Orangnya di-maintenance dengan bagus, promosinya juga harus bagus, pengembangan brand juga harus di-support oleh tim yang kuat dan solid,’’ ujarnya, belum lama ini.
Terus mengembangkan brand untuk SDM bertumbuh menjadi motivasinya selama ini. Tim harus mendukung brand Coco, sehingga perkembangannya pun konsisten. ‘’Bagaimana brand ini terus berkembang. Kalau sudah berkembang, SDM juga tumbuh dengan bagus, sehingga income-nya pun tumbuh,’’ ungkapnya.
Pertumbuhan yang sejalan ini akan semakin menguatkan brand dan kontinuitas brand pun akan terjaga. Dengan demikian tak heran Coco Group mampu mengembangkan beberapa jenis usaha seperti ritel berupa mart, supermarket, akomodasi, restoran, dll.
6. Tenun Patra
Kerajinan tenun di Bali sejatinya sudah berkembang sejak lama. Sejalan dengan perkembangan zaman, inovasi pun terus bermunculan. Salah satunya, Tenun Patra yang digagas I Gusti Made Arsawan. Dikatakan, Tenun Patra sebagai kain yang dinamis merupakan kreasi ulang dari khazanah tenun tradisional dengan beberapa sentuhan hasil eksplorasi dan eksperimentasi.
Salah satu keunggulannya adalah mampu dikembangkan sebagai tenun kontemporer yang memiliki ciri ketidakterbatasan dalam motif dan warna. Pengembangan ini memungkinkan penggunaan Tenun Patra sebagai kain koleksi yang eksklusif atau mentransformasi kebutuhan khusus bagi desainer dalam aplikasinya baik untuk fashion maupun produk.
Ditemui di kediamannya, Arsawan mengatakan, ia sangat tertarik dengan motif yang berbeda dengan kain yang ada di pasaran selama ini. Pihaknya mencoba untuk menampilkan motif flora dan fauna di kain tenunannya. Ide kreatifnya ini mampu membuat kain tradisional motif baru dengan kemasan bagus dan kualitas terbaik. ‘’Selama ini karakter endek motifnya berbentuk geometeri. Saya ingin endek tampil beda, sehingga perlu mengubah pakem agar fresh dan baru,’’ ujar alumnus ITB ini.
7. Kopi Banyuatis
Siapa tidak kenal dengan Kopi Banyuatis. Salah satu produk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari Bali Utara ini sekarang eksis di tengah persaingan dengan produk sejenis. Bahkan, kopi yang diciptakan almarhum Ketut Engglan ini sekarang tidak hanya menggarap pasar dalam negeri, namun sudah mampu tembus ke pasar ekspor.
Untuk pasar ekspor sendiri olahan kopi dari Den Bukit ini begitu diminati terutama untuk jenis Arabika. Owner Kopi Banyuatis Gede Pusaka Harsadena menuturkan, dalam melanjutkan bisnis yang diwariskan orangtuanya itu, tidak lepas dari berbagai hambatan.
Namun berkat kerja kerasnya, sekarang Kopi Banyuatis tampil sebagai produk UKM terkenal dan mampu bersaing dengan kopi-kopi dari daerah lain di Indonesia. Untuk mendapatkan pasar, ia mengaku salah satu kunci suksesnya adalah menghasilkan rasa kopi berkelas dan tidak dimiliki kopi dari daerah lain.
Setelah mampu memberikan rasa khas sebagai kopi asli dari Buleleng, dirinya baru menawarkan dengan harga yang otomatis mengikuti kualitas kopi itu sendiri. “Dari dulu saya melanjutkan warisan usaha almarhum orangtua banyak hambatan terutama persaingan dengan sesama produk sejenis. Bahkan dulu kopi saya titip di warung saja ditolak. Namun masa itu sudah bisa dilalui, sekarang toko sudah mencari kopi saya,” katanya. (Tim BP/balipost)