Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S. (BP/rin)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pergub No.99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali belum berjalan optimal. Padahal, petani diharapkan tidak merugi dan mendapatkan harga yang pantas terutama  saat panen raya, yakni dengan mendorong hotel, restoran, katering (horeka) dan pasar swalayan membeli sekaligus menggunakan produk lokal Bali tersebut.

“Mengapa ini tidak bisa jalan, yang pertama, di sana diatur bahwa produk-produk lokal yang dihasilkan harus memenuhi kriteria yang diperlukan konsumen,” kata Akademisi Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. I Wayan Supartha, M.S., Rabu (25/12).

Selain itu, kebutuhan pasar terbesar belum dihitung yang sebenarnya adalah masyarakat Bali. Sementara sentimen yang muncul sekarang adalah produk-produk lokal termasuk produk pertanian agar dibeli oleh horeka dan pasar swalayan. Untuk bisa menembus horeka dan pasar swalayan, petani harus bisa memenuhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas produk.

Baca juga:  Pemerintah Daerah Dua Zona Merah di Bali Ini Diminta Perbaiki Penanganan

“Di tatanan kuantitas pada saat panen oke, kualitas juga beberapa bisa dipenuhi. Tapi pada saat tidak panen akhirnya diskontinu. Artinya, kontinuitas tidak menjamin sehingga konsumen harus beralih ke produsen lain dari luar,” jelas akademisi di bidang pertanian ini.

Menurutnya, tidak semua produk pertanian yang dibutuhkan hotel bisa diproduksi di Bali dalam jumlah dan kualitas tertentu. Ditambah lagi tidak semua produk lokal memiliki sertifikat yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, harus ada pendampingan kepada petani untuk bisa mempertemukan apa yang dibutuhkan konsumen dengan apa yang mampu dihasilkan oleh petani.

“Khusus pasar swalayan tentu berpikir tentang profit. Sedikit sekali yang berpikir tentang benefit (manfaat). Memang ada komitmen bekerja sama, tapi bagi dia adalah sepanjang mendapat profit. Kalau tidak dapat untung, ya pindah. Kejadian ini yang sementara sekarang banyak terjadi,” sebutnya.

Baca juga:  Produksi Mangga Buleleng Lebih dari 30 Ribu Ton, Optimis Mampu Penuhi Ekspor

Supartha mencontohkan dirinya mempunyai mitra untuk membeli manggis yang diminta oleh Cina. Karena tidak sedang musim panen, mitra tersebut akhirnya beralih ke Lombok dan daerah lain di luar Bali. Itu artinya manggis Bali memiliki pesaing karena tidak semua kebutuhan pasar bisa dipenuhi pada saat dibutuhkan. Kendala berikutnya, varian produk lokal Bali masih terbatas dan dihasilkan secara konvensional.

Salah satu Kelompok Ahli Pemprov Bali ini melihat ada kecenderungan produk yang sebetulnya tidak dibutuhkan malah diproduksi. Akhirnya produk yang tidak dibutuhkan menjadi over suplai, sedangkan yang diperlukan kurang tersedia. Hal ini juga yang membuat implementasi Pergub 99 belum harmonis antara suplai dan demand. Harga tentu mengikuti ketentuan Pergub yakni 20 persen di atas biaya produksi.

Baca juga:  Setiap Pekan, Pemerintah Evaluasi Penerapan PPKM Berlevel

Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster mengevaluasi salah satu Pergub yang telah diterbitkannya pada saat menyampaikan Pidato Akhir Tahun, yakni Pergub No.99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.

“Terus terang pergub ini sebenarnya bagus sekali tapi jalannya lamban dan belum optimal. Karena itu, saya akan tancap tahun 2020 dengan membentuk tim pendampingan untuk mempercepat pelaksanaannya,” tegasnya.

Koster juga mengaku akan mendorong dan memberi insentif kepada horeka dan pasar swalayan agar menggunakan produk lokal Bali. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *