Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Benih-benih feodalisme sekolah ditunjukkan oleh tingkatan kuasa: kepala sekolah, guru, dan siswa. Sekolah telah sejak lama menjadi habitus birokrasi feodal. Hubungan-hubungan subjek-objek dipraktikkan dalam suasana belajar.
Sekolah membangun panggung imajiner tempat kuasa guru atas siswa dipertunjukkan. Mental birokrasi feodal para guru tampak pada: guru datang lebih belakang ketimbang siswa, boleh terlambat, menerima salam atau ikatan bunga dari siswa sebagai ucapan selamat, merasa lebih pintar dan lebih tinggi, dan lain-lain. Di atas semua ini guru mempertahankan wibawa karena akan membuat siswa patuh atau tunduk. Dalam pola hubungan ini guru menikmati kepuasan sosial.
Praktik belajar di kelas berpusat pada kuasa guru. Meski demikian, berhadapan dengan kepala sekolah, guru menjadi objek karena kehilangan kuasanya tadi. Guru berada ujung tombak ikhtiar mulia persekolahan dan sekaligus kambing hitam atas berbagai masalah, misalnya nilai siswa jeblok yang membikin malu para pejabat di kabupaten.
Selama sejarah panjang pendidikan nasional, ternyata semua regulasi tidak ada yang berpihak pada guru. Guru tidak ubah para buruh dalam pabrik yang dipaksa untuk memenuhi ‘’target’’ atasan. Aturan-aturan itu sebenarnya menindas guru. Pun praktik mengajar di kelas-kelas adalah untuk mencapai target administrasi (jumlah jam tatap muka, sekian kali tes, penilaian proses, sekian tema belajar, sekian jenis nilai, pendidikan karakter, dll). Yang ada di balik target administrasi kuantitatif itu adalah para penguasa kaum birokrasi pendidikan.
Pak Menteri Nadiem Makarim membongkar kondisi tersebut dengan mengeluarkan konsep perubahan paradigma pendidikan yang berpihak pada guru. Hal ini terasa kuat dalam pidato memperingati Hari Guru bulan lalu.
Guru dimerdekakan karena mereka yang paling tahu persoalan dan prestasi nyata di lapangan, yaitu ruang kelas. Guru dituntut untuk membumi atau menyelami lapangan profesinya, yaitu ruang kelas tempat siswa berpraktik pendidikan. Guru diberi wewenang besar untuk ‘’yang paling tahu, paling mengerti, dan paling paham’’ kondisi siswa di kelasnya. Guru memandang setiap siswa di kelas bukan secara administrasi sekolah (sebatas data di Dapdodik) tetapi sebagai entitas sosial holistik. Guru tidak hanya bertanya soal mata pelajaran yang lalu tetapi, ‘’Bagaimana kabar ibumu, Nak, di Arab?’’ sebuah pertanyaan untuk siswa yang ibunya seorang buruh migran.
Menjadi bagian dunia siswa di ruang kelas menjadikan guru mengerti persoalan hidup. Guru menyadari insan-insan yang dihadapi setiap hari dengan kesetiaan yang tidak dapat dipahami, untuk selalu hadir di kelasnya. Guru berhadapan dengan jiwa-jiwa yang berkembang dalam setiap tubuh yang tumbuh secara biologis dan rohani.
Guru melibatkan seluruh siswa dalam praktik belajar. Siswa bukan ‘’wadah’’ untuk diisi. Guru bersama mereka mengembangkan praktik belajar. Di dalam kelas inilah tumbuh tanggung jawab belajar bersama, kesadaran tinggi, dan motivasi besar. Mereka sadar, termotivasi dalam belajar dan bukan lagi sebagai paksaan dari pihak lain.
Dengan segala optimisme, para guru menerima atau menyikapi gagasan Pak Menteri yang kebijakannya membela guru, maka semua harusnya mengubah pandangan terhadap tugasnya dengan melihat konteks yang paling masuk akal yaitu ruang kelas. Di dalamnya terjadi kehidupan puluhan siswa. Ruang kelas ini adalah spesimen realitas yang sebenarnya. Apa yang terjadi di dalamnya memiliki genesis pada kehidupan sosial siswa di keluarga, desanya atau perubahan dunia yang terasa sangat dekat karena jejaring internet.
Tanggung jawab guru bukan lagi tanggung jawab administrasi kuantitatif (data yang mungkin bisa diakali) tetapi tanggung jawab humanis. Dunia guru adalah dunia jiwa-jiwa yang sedang tumbuh. Karena itu, yang dimaksud dengan persoalan pendidikan di kelas adalah bukan lagi soal akademik atau kognitif. Persoalan pendidikan dalam lingkup ruang kelas adalah persoalan manusia dan kehidupannya.
Jadi dengan konsep bahwa dunia profesi guru di ruang kelas, maka guru menghadapi dimensi yang paling nyata kehidupan siswa, harapan, tujuan, keadaan keluarga, ekonomi, pergaulan sehari-hari, dll. Karena itu, guru juga harus menyelami akar hidup siswa. Guru bisa semakin mafhum adanya, betapa siswa tidak begitu paham dengan radikalisme atau pendidikan karakter. Sebaliknya, mungkin yang terjadi pada diri siswa adalah keinginan untuk jalan-jalan atau bagaimana bisa kuliah karena orangtuanya bercerai.
Wilayah kemerdekaan guru atau ruang sosiologis untuk mempraktikkan gagasan ‘’guru penggerak’’ dari Pak Menteri adalah guru yang dapat mengambil keputusan sendiri di atas tanggung jawab dan didukung oleh prinsip kuat, nyata, dan membumi untuk membantu siswa di kelasnya. Bukan menyiapkan siswa menjadi pribadi dengan 18 karakter unggul yang abstrak oleh kata-kata. Maka persoalan guru berkaitan dengan akademik, sesungguhnya harus dinomorduakan setelah persoalan hidup nyata siswa. Karena yang terjadi selama sejarah pendidikan ini adalah seperti ditulis W.S. Rendra dalam ‘’Sajak Seonggok Jagung di Kamar’’. Pendidikan yang menjauhkan siswa dari persoalan kemasyarakatan. Hal ini sebagai akibat dari pendidikan kognitif kuantitaif murni.
Maka gagasan mendekatkan atau membumikan guru kepada dunia ruang kelas, dunia yang paling nyata kehidupan siswa di sekolah, sebagai antitesis dari pendidikan nasional yang abstrak adalah kebijakan pemerintah yang berpihak kepada guru. Dalam lingkup ruang kelas, profesionalisme guru diakui oleh pihak manapun.
Persoalan apa pun yang terjadi dalam lingkup ini yang dipahami oleh guru akan dipercaya oleh pihak manapun juga. Inovasi-inovasi guru juga terjadi di ruang kelas bersama siswanya. Dunia guru dan siswa adalah dunia yang paling nyata dalam lingkup ruang kelas. Guru bekerja untuk membantu siswa menjalani praktik pragmatik pendidikan yang benar-benar membumi dalam lingkup ruang kelas, dunia yang tersambung dengan realitas siswa yang sebenarnya.
Selama ini guru telah tercerabut dari dunianya yang paling mungkin. Guru memahami ruang kelas sebagai dunia imajiner, dunia sekadar lewat. Guru ditarik dengan hebat oleh dunia pusaran administrasi birokrasi dengan tumpukan data dalam tabel atau daftar. Guru bekerja bukan untuk jiwa-jiwa siswa yang sedang mekar bertumbuh, tetapi untuk memenuhi tuntutan administrasi, sebagai alat kuantitaif birokrasi.
Kebijakan Pak Menteri adalah membumikan guru pada dunia profesinya yakni ruang kelas. Guru bekerja untuk siswa. Guru mengenali setiap siswa. Guru dapat menjalin komunikasi dengan semua siswa. Guru adil dalam ‘’melayani’’ dan memperlakukan siswa. Karena itulah, inovasi atau persoalan-persoalan guru menjadi sangat lokal. Guru harus bersikap merdeka dalam memahami dan menjalankan berbagai inovasi dan perubahan karena basis pengetahuan guru adalah ruang kelas.
Esai ini bermaksud menjelaskan kepada para guru untuk menyadari bersama, bahwa kebijakan Pak Menteri berpihak kepada guru yang mana sebelumnya kebijakan-kebijakan pendidikan berpihak kepada pemerintah dan negara. Guru kini dikembalikan kepada ruang atau dunianya yang paling nyata: siswa. Karena itu menjadi guru merdeka yang paling realistis adalah dalam dunia ruang kelas. Menjadi guru penggerak juga adalah dalam lingkup ruang kelas.
Penulis, Dosen Undiksha dan Pegiat Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali