DENPASAR, BALIPOST.com – Dalam dunia politik, perempuan Bali mesti berani tampil dan bergerak. Ruang yang ada harus dikelola sebagai kesempatan.
Hambatan patriarkhi hendaknya dikombinasikan dengan profesionalisme perempuan dalam mengelola setiap ruang politik yang ada. Pilkada, pileg, bahkan pemilihan kepala desa mestinya dikelola sebagai rung strategis bagi perempuan Bali untuk bangkit.
Saran ini dilontarkan akademisi FISIP Unud Kadek Dwita Apriani kepada Bali Post, Kamis (26/12). Dijelaskannya, merujuk hasil pemilu langsung pascareformasi hingga Pemilu 2019 — kecuali pengganti antar-waktu — menunjukkan Bali tidak pernah berhasil mengirimkan wakil perempuan ke DPR-RI. Kegagalan perempuan Bali merebut pelung politik dipicu banyak hal.
Merujuk kerangka Supply Demand, pada sisi demand menitikberatkan pada bagaimana partai politik menyeleksi bakal calon untuk masuk ke dalam daftar caleg. Bahwasanya partai politik memberi perlakuan yang berbeda dari sisi akses ke mesin partai pada kandidat laki-laki dan perempuan.
Pada sisi supply, caleg perempuan yang bertarung di Bali pada Pemilu 2019 memiliki keterbatasan dan hambatan di berbagai aspek seperti (1) kemampuan finansial yang minim, (2) pengalaman politik yang sedikit, (3) jaringan sosial yang terbatas, (4) keterbatasan ruang gerak dan waktu, (5) rendahnya motivasi politisi perempuan dalam berkarier politik.
Perpaduan diskriminasi partai dan hambatan-hambatan besar pada sisi supply ini menyebabkan outcome berupa rendahnya keterpilihan perempuan di Bali pada Pemilu 2019. Akibatnya Bali selalu menjadi provinsi dengan persentase kursi perempuan kurang dari 10 persen di tingkat DPRD provinsi di seluruh Indonesia.
Untuk hasil Pemilu 2009 dan 2014, dari 34 provinsi, Provinsi Bali selalu berada di posisi lima terendah persentase kursi perempuan di tingkat DPRD provinsi. Ia mengatakan perempuan Hindu Bali tidak terlatih untuk pengambilan keputusan atau terlibat dalam pengambilan keputusan di tingkat masyarakat.
Unit pengambilan keputusan terkecil di tingkat desa adat di Bali berada pada tingkat banjar. Banjar secara tradisional berdasar pada hukum adat dan bertanggung jawab pada proses ritual, namun perempuan tidak diberikan kesempatan untuk bersuara di banjar.
Kadek Dwita Apriani mengatakan sejumlah riset menjelaskan bahwa laki-laki Bali sangat jarang mengonsultasikan apa yang diputuskan di sangkep banjar dengan istrinya, meski keputusan tersebut berdampak pada pekerjaan adat yang harus dikerjakan perempuan.
Namun, kondisi ini mestinya tak membuat perempuan Bali terkarantina.
Terpilihnya dua perempuan Bali menjadi bupati, yakni di Tabanan dan Karangasem adalah hal strategis yang harus dicontoh. Ini membuktikan perempuan Bali punya ruang untuk tampil sejajar dalam dunia politik. Perempuan Bali harus mengelola ruang politik yang ada.
Terlebih kini Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga juga perempuan Bali. ‘’Politik elektoral dan hambatan patriarkhi hendaknya direspons dengan kecerdasan dan kesiapan untuk mengelola ruang politik. Merujuk data Pemilu 2019, kini peningkatan perempuan Bali di legislatif patut diapresiasi, meskipun masih kurang dari 30 persen,’’ jelasnya.
Pada Pemilu 2019, persentase perempuan yang menduduki kursi parlemen di seluruh DPRD provinsi, kota dan kabupaten di Bali meningkat dibandingkan Pemilu 2014. Berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2019, sebanyak 52 calon legislatif (caleg) perempuan yang lolos di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Data KPU Provinsi Bali menunjukkan, pada tingkat DPR-RI, dari sembilan yang mewakili Bali, terdiri dari 6 dari PDI-P, 2 dari Golkar, dan 1 dari Demokrat. Kesembilan calon terpilih ini adalah laki-laki, tidak ada satu pun perempuan. Pada tingkat DPRD provinsi, terdapat 9 perempuan, yakni dari 6 dari PDI-P, dan masing-masing 1 orang dari Golkar, Demokrat, dan PSI. (Dira Arsana/balipost)