Gubernur Bali, Wayan Koster. (BP/Dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Keberagaman budaya dan sistem tata cara upacara keagamaan yang masih tetap lestari hingga saat ini menjadi kekuatan bagi Bali. Desa adat merupakan benteng utama pelestarian kebudayaan, sehingga menguatkan desa adat berarti menjaga roh kebudayaan Bali.

Kebijakan strategis dalam konteks mengawal budaya telah ditempuh Gubernur Bali Wayan Koster dengan menetapkan Perda No.4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Selain itu, visi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ makin mempertegas komitmen menjaga alam, budaya dan manusia Bali.

Budayawan Dr. Drs. A.A. Gde Raka, M.Si. mengatakan, orang Bali terkenal dengan sifat terbuka dan selektif dalam menghadapi kehadiran budaya asing. Terbuka terhadap siapa pun yang datang dan menerima dengan ramah, sopan, kekeluargaan, dan penuh toleransi. Selektif, tentu tidak sembarangan menerima apa yang masuk, tetapi memilih yang sesuai dengan alam pikiran dan perasaan Bali (lokal).

Baca juga:  Memperkuat Kedudukan Desa Adat Guna Menjaga Kebudayaan Bali

Karena itulah, kahadiran pengaruh agama dan kebudayaan Hindu (India) membuat keberadaan kebadayaan Bali semakin beragam (kaya), indah, dan menarik. Artinya, nilai-nilai keberagaman yang telah ada tetap dipelihara dan kemudian disinergikan dengan nilai-nilai budaya baru sebagai zat penyubur melalui proses akulturasi budaya.

Lantas, bagaimana mengawal kebudayaan Bali di tengah-tengah derasnya arus budaya global? Raka menegaskan, budaya Bali tidak menolak kehadiran budaya global, namun memberdayakan budaya global sebagai media dan alat memajukan kebudayaan Bali dengan tetap menjadikan kearifan atau identitas lokal sebagai rohnya.

Orang Bali hendaknya berpikiran global dan tetap berperilaku lokal bila ingin mengawal agar kebudayaan Bali tetap ajeg dalam zaman dan keadaan apa pun. Hal itu bukan merupakan sesuatu yang baru, namun diyakini telah dialami oleh para leluhur Bali dan berhasil diatasi, sehingga dapat bertahan hingga saat ini.

Baca juga:  Generasi Muda Harus Mampu Tumbuhkan Keterampilan Berpikir

‘’Kita sesungguhnya bersyukur, di tengah-tengah kekhawatiran akan eksistensi kebudayaan Bali, Gubernur Bali Wayan Koster telah sigap dengan senjata pamungkas. Yakni Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat yang isinya bermuara kepada penyelamatan dan penguatan keberadaan kebudayaan Bali. Kemudian, yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah dan seluruh elemen warga masyarakat Bali adalah mengimplementasikan secara maksimal dan mengawal bersama-sama saling bahu-membahu dalam pelestarian budaya dan berbagai unsur-unsurnya. Dalam hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab lembaga adat dan berbagai organisasi yang ada di dalamnya sebagai penyelenggara, pengendali, dan sekaligus mengontrolnya,’’ tegasnya.

Alat Kontrol

Dari sisi spiritual keagamaan, kata Raka, peran Sad Kerthi Loka Bali sebagai alat kontrol, dan hendaknya diimplementasikan sesuai tuntutan ruang dan waktu serta berkeseimbangan menuju keharmonisan alam sekala dan alam niskala. Keenam elemen tersebut harus diwujudnyatakan secara seimbang melalui kegiatan ritual keagamaan.

Baca juga:  Menanti Terwujudnya Pusat Kebudayaan Bali

Penyucian terhadap keenam elemen tersebut dari berbagai gangguan dan kerusakan karena ulah manusia dan bencana alam, perlu dilakukan agar menjadi harmonis kembali. Atma Kertih, sebagai roh manusia (jana), alam semesta (bhuwana), hutan (wana), danau (danu), dan laut (segara) dalam waktu yang telah ditentukan harus dilakukan ritual penyucian dengan media yadnya pada setiap elemen dimaksud (Sad Kertih) demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dan alam.

“Hal itu telah dilakukan di Bali, namun sejauh mana dari keenam unsur tersebut sudah dilakukan? Yang jelas, keenam elemen Sad Kerthih harus dilakasanakan secara seimbang sebagai kontrol dan menetralisasi keadaan alam Bali, agar perputarannya menjadi harmonis kembali,” katanya mengingatkan. (Winatha/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *