DENPASAR, BALIPOST.com – Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari berbagai unsur seperti adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, karya seni, dan politik serta agama. Seni budaya merupakan penunjang sarana upacara.
Berbagai kesenian berperan dalam menunjang upacara, seperti seni rias yang dipancarkan oleh bentuk banten, seni suara berupa kidung, kakawin atau lagu-lagu pujaan, seni tari berupa seni sakral dan seni wali, seni tabuh berupa gamelan, serta aturan busana upacara agama.
Guru Besar IHDN Denpasar Prof. Dr. I Made Surada, M.A. mengatakan, kebudayaan Bali menjunjung nilai-nilai keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan). Jika manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut, maka kesejahteraan akan terwujud.
Di samping itu, orang Bali mengenal konsep Tri Semaya yaitu persepsi terhadap waktu. Masa lalu (atita), masa kini (anagata) dan masa yang akan datang (wartamana) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. ‘’Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan,’’ katanya.
Pengaruh Modernisasi
Menurut Surada, budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan zaman dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau kemajuan ilmu dan teknologi. Seperti realitas saat ini, makin melunturnya penggunaan bahasa, aksara, dan sastra Bali di kalangan masyarakat Bali. “Terjadi penggerusan budaya Bali karena pengaruh modernisasi, teknologi, dan globalisasi, sehingga kelompok milenial cenderung meninggalkan budaya leluhurnya yang adiluhung, seperti bahasa, aksara, sastra Bali, busana adat Bali, dan lain-lainnya. Di samping juga banyaknya klaim pihak luar terhadap karya seni, budaya dan tradisi Bali masa lalu,” ujarnya.
Menurut Surada, Pergub Nomor 79 Tahun 2018 tentang Penggunaan Busana Adat Bali, Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali, membangkitkan kembali gairah penggunaan busana, bahasa, aksara, dan sastra Bali sesuai dengan visi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’. Membangun Bali melalui Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, mewujudkan kehidupan krama Bali dan gumi Bali yang sejahtera dan bahagia sekala-niskala dengan prinsip Tri Sakti Bung Karno, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan.
Surada menegaskan, perlindungan dan penggunaan bahasa, aksara, dan sastra Bali akan mengukuhkannya tetap sebagai bahasa ibu di Pulau Bali, akan membuat masyarakat Bali kembali mencintai bahasa ibunya sendiri. Seperti penggunaan aksara Bali merupakan bentuk penguatan identitas budaya daerah sebagai bagian utuh kekayaan budaya nasional dalam kerangka ideologi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Masyarakat Bali patut memberikan apresiasi positif atas terbitnya Peraturan Gubernur Bali, upaya perlindungan dan penggunaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali untuk memberikan ruang dan media terhadap penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa ibu di tanah Bali,” katanya.
Menurut Surada, visi-misi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ Gubernur Wayan Koster merupakan harga mati untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Bali sekala niskala. Arti dari visi tersebut adalah menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya untuk mewujudkan kehidupan krama dan gumi Bali yang sejahtera dan bahagia.
Ia menambahkan, peranan budaya dalam masyarakat Bali sangat kuat mulai dari sejak lahir sampai meninggal dunia. Kekuatan keagamaan dan budaya bersatu sangat kuat dalam setiap sisi kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai dan norma ataupun pedoman hidup dalam kekuatan Bali yang membuat kebudayaan menjadi lestari. “Oleh karena itu, sangat penting pendirian pusat kebudayaan untuk pemajuan kebudayaan sekaligus upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Bali di tengah peradaban dunia melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan,” tegasnya. (Winatha/balipost)