DENPASAR, BALIPOST.com – Peran perempuan dalam politik kerap dikaitkan dengan partai besar dan kekerabatan. Padahal, menurut Dr. Kadek Dwita Apriani yang baru saja lulus program doktor Ilmu Politik di Universitas Indonesia, hal itu tidak sepenuhnya benar.

Dalam ujian terbuka yang juga disaksikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pelrindungan Anak (PPPA), Gusti Ayu Bintang Darmawanti, S.E, M.Si., Dwita mampu menjawab dengan lugas disertasinya yang mengangkat kasus terpilihnya bupati perempuan di Karangasem pada 2015 dalam kultur patriarki.

Ditemui di rumahnya, Senin (30/12), wanita kelahiran April 1988 itu melakukan riset di wilayah Karangasem, yang pada 2015, memilih perempuan sebagai bupati mengalahkan kerabat incumbent dan pesaing lainnya.

Baca juga:  Nelayan Pengambengan Keluhkan Harga Merosot di Musim Panen 

Tema yang diambil adalah “Perilaku Pemilih  Masyarakat dalam Pilkada Kabupaten Karangasem, Bali tahun 2015. Studi Kasus Kemenangan Perempuan sebagai Bupati di Wilayah Berkultur Patriarki.”

Kata wanita yang menempuh S1 dan S2 nya di UI ini, berbicara peran perempuan dalam politik di Bali, memang belum terbuka lebar. Wanita Bali punya retreksi, tenaga terbatas, SDM terbatas.

Sehingga wanita yang akrab disapa Dedek itu mengambil Karangasem sebagai study kasus. “Di Karangasem, Pilkada beberapa waktu lalu itu suatu anomali, karena ada beberapa catatan. Beberapa Variable tidak masuk dalam teori pemilih. Perempuan mengalahkan calon yang confident dan incumbent,” jelasnya.

Sambung dia, selama ini mengenai kepemilihan perempuan, selalu dikaitkan dengan dua hal. Yakni diusung partai besar dan juga punya kedekatan kekerabatan. “Ini berbeda dengan di Karangasem tahun 2015,” sebutnya.

Baca juga:  Bantuan Permakanan Pengungsi di Buleleng Membludak

Perempuan secara posisi politik tidak menguntungkan. Pasalnya kalau di Bali, basis pemilih ada di banjar. Sementara perempuan di Bali tidak terbiasa dalam mengambil keputusan di level adat.

Dengan segala keterbatasan, seorang perempuan bisa memenangkan pilkada.  Tentu hal itu perlu menjadi cambuk bagi perempuan Bali lainnya, untuk tidak tabu dalam urusan politik. “Politik jangan dianggap itu laki-laki,” tegasnya.

Wanita yang tiga kali lulus di UI dan selalu meraih predikat cumlaude itu mengatakan dengan riset yang dilakukan, setidaknya dia mampu mengonfirmasi Pilkada dapat menjadi ruang atau jalan bagi keterpilihan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin di level lokal.

Baca juga:  Gubernur Koster Apresiasi Tim Medis Tangani Pasien COVID-19

“Kontestasi elektoral membuka ruang bagi perempuan di wilayah berkultur patriarki.  Yang ikut sangkep saja tidak boleh, kini bisa menjadi pemimpin,” tegasnya.

Kedua, hasil temuan bahwa hubungan kekerabatan dapat di-engineering dengan baik menghasilkan pengelolaan jaringan opinion yang baik, dapat membantu keterpilihan perempuan. “Jika perempuan tidak ada yang mau berpikir tentang itu, jika enggan memasuki ruang itu, saya anggap perempuan itu “kalah.” Saya ingin mengedukasi publik. Dunia saya adalah riset, termasuk riset politik. Wanita mesti didorong untuk berpolitik,” ucapnya. (Miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *