MANGUPURA, BALIPOST.com – Keragaman dan keunikan budaya Bali menjadi sumber inspirasi bagi seniman yang tak pernah kering untuk digali. Apalagi, di dalamnya juga terkandung berbagai kearifan lokal yang sangat kontekstual untuk ditumbuhkembangkan di segala zaman.
Salah satu perupa yang cukup intens mengeksplorasi kearifan lokal Bali itu sebagai ide penciptaan karya-karya seni lukisnya adalah Ngurah Alit Kepakisan, S.Sn. Perupa jebolan Program Studi Seni Rupa Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini memvisualisasikan Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung ke dalam karya seni lukis surealisme sebagai karya tugas akhirnya.
Menurut Alit Kepakisan, Perang Tipat Bantal merupakan ritual tradisi yang dilakukan untuk memohon kesuburan, mencegah kekeringan dan menolak bala berupa hama pada tanaman pertanian. Ritual ini dilakukan dengan cara saling melempar tipat dan bantal antarregu ataupun perorangan.
Tradisi ini dipercayai membawa pengaruh yang besar terhadap kegiatan pertanian masyarakat Desa Kapal. Tradisi unik ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah. “Guna mewujudkan karya seni lukis surealisme ini, saya melakukan langkah-langkah penelitian, penciptaan dan penyajian seni dengan menggunakan pendekatan teori semiotika, estetika visual, dan psikoanalisis yang bersifat eklektik. Pendekatan ini bersifat kualitatif dengan menggunakan data wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi,” kata Alit Kepakisan kepada Bali Post, Rabu (1/1).
Perupa yang juga bergabung dalam Tim Kreatif Sanggar Seni Pancer Langiit ini mengatakan, wujud lukisan dari Perang Tipat Bantal menampilkan bentuk-bentuk imajinatif, dan bentuk deformasi dengan teknik plakat dan transparan. Makna dari lukisan Perang Tipat Bantal menampilkan makna-makna yang bersifat simbolik. “Dalam memvisualisasikan karya ke atas bentang kanvas, saya mengimajinasikan ritual Perang Tipat Bantal sebagai perang suci ditandai dengan menampilkan simbol-simbol seperti tokoh dewa dan dewi. Tentunya, wujud dewa dan dewi itu dideformasi sesuai dengan presepsi saya,” sebutnya.
Tipat dan bantal dipersepsikan sebagai lambang purusa dan pradana dengan cara mengolah bentuk tipat bantal menjadi tokoh dewa dan dewi. “Bersyukur, saat itu karya lukis ini ditetapkan sebagai Karya Terbaik Satu dalam ujian tugas akhir di Program Studi Seni Rupa Murni,” kata perupa asal Banjar Cica, Desa Abianbase, Mengwi ini memaparkan proses penciptaan karyanya.
Selain melukis, peraih Juara I Melukis Wayang PKB 2013 ini juga aktif membuat wayang kulit, kostum tarian Bali tradisional maupun kontemporer, dan properti untuk seni pertunjukan. “Saat ini, saya bersama sejumlah teman memang instensif menggarap kostum-kostum pentas dan karnaval serta properti di Sanggar Seni Pancer Langiit. Di luar itu, saya juga menerima order pembuatan wayang kulit dan kostum tarian Bali tradisional maupun kontemporer,” ujarnya. (Wayan Sumatika/balipost)