Suasana kemacetan di wilayah Kuta, Badung. (BP/dok)

Oleh Agung Kresna

Libur Natal dan Tahun Baru di Bali adalah identik dengan kemacetan lalu lintas di kawasan objek tujuan wisata. Sudah jamak bahwa kawasan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Kuta, Denpasar, Ubud, Bedugul, dan berbagai kawasan yang menjadi tujuan favorit wisatawan, akan diwarnai dengan kemacetan yang cukup parah.

Kondisi ini adalah akibat dominasi kendaraan pribadi para wisatawan, karena masih terbatasnya ketersediaan sarana transportasi massal publik di Bali. Meski Pemerintah Daerah Bali tetap menunjukkan keseriusannya dalam upaya pembenahan sistem angkutan umum/publik pada moda transportasi massal, utamanya berbasis rel untuk infrastruktur pendukung bandara (Bali Post, 8/9).

 

Bisa dikatakan bahwa semua bandara di kota wisata berkelas dunia selalu memiliki sarana transportasi publik nyaman –- utamanya moda kereta api — bagi wisatawan yang berkunjung, guna membawa wisatawan menuju ke pusat kota. Transportasi publik memang menjadi kunci kenyamanan mobilitas wisatawan yang mendatangi suatu daerah tujuan wisata. Melalui sarana transportasi publik, para wisatawan memiliki mobilitas yang tinggi dalam menikmati objek wisata yang ada.

Bagaimana dengan Bali yang memiliki citra pariwisata berkelas dunia. Berbagai keluhan transportasi publik di Bali memang selama ini masih sering dilontarkan para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Bali. Wisatawan yang datang ke Bali hanya bisa menggunakan transportasi semipublik berupa kendaraan rental, taksi, atau angkutan daring/online.

Baca juga:  Kekuasaan, Uang dan Hidup Rasional 

Masyarakat tidak memiliki banyak pilihan transportasi publik. Transportasi berdaya tampung lebih dari 10 orang, hanya berupa minibus AKDP (Angkutan Kota Dalam Provinsi) dan bus Trans-Sarbagita sebagai angkutan aglomerasi Kota Denpasar.

Transportasi publik bus Trans-Sarbagita sebenarnya merupakan langkah awal yang baik dalam upaya menata sistem transportasi massal di Bali. Namun tentunya harus diikuti dengan upaya penataan sarana transportasi massal lain dalam sistem AKDP serta moda transportasi lain secara terintegrasi, komprehensif dan berkelanjutan di seluruh Bali. Optimalisasi transportasi massal merupakan upaya mengurai simpul-simpul kemacetan yang disebabkan oleh terlalu dominannya moda transportasi pribadi.

Barangkali Bali bisa belajar dari beroperasinya Moda Raya Terpadu (MRT) sebagai mass rapid transit di Kota Jakarta yang melengkapi transportasi massal KRL (Kereta Rel Listrik) dan bus Trans-Jakarta yang telah beroperasi terlebih dahulu. Jakarta juga telah mengoperasikan Lintas Raya Terpadu (LRT/Light Rail Transit), menyusul Kota Palembang yang telah terlebih dahulu mengoperasikannya. Transportasi massal berbasis rel menjadi pilihan para pemimpin daerah dalam menata kesemrawutan transportasi di wilayahnya masing-masing.

Baca juga:  Perempuan dan Konstruksi Spiritualitas Bangsa

Diaktifkannya kembali jalur kereta api lama yang pernah ada di beberapa kota seperti Cianjur, Bogor, dan Pematang Siantar, bagai melengkapi kesadaran para pemangku kebijakan transportasi. Mereka sadar bahwa transportasi massal berbasis rel merupakan sarana tepat dalam upaya mengurangi tingkat kemacetan di jalan raya sekaligus merupakan angkutan murah bagi masyarakat umum. Di banyak negara, transportasi massal berbasis rel justru sudah dioperasikan sejak puluhan tahun yang lalu.

Integrasi Transportasi Publik

Keberhasilan angkutan publik bus Trans-Jakarta maupun Trans-Jogja lebih disebabkan karena faktor ketepatan menentukan koridor jalur yang dilayani, jarak antarhalte yang tidak terlalu jauh, dan jumlah armada bus yang cukup untuk memangkas waktu tunggu calon penumpang. Selain itu juga ada konsistensi dan keberlanjutan kebijakan yang berkesinambungan karena koridor jalur layanan Trans-Jakarta maupun Trans-Jogja dirintis secara bertahap dan bertahun-tahun. Setelah itu baru dilakukan integrasi dengan moda transportasi publik lain seperti KRL dan MRT pada Trans-Jakarta, serta kereta api dan pesawat udara pada Trans-Jogja.

Halte dan terminal/stasiun menjadi kata kunci dalam membangun sarana transportasi publik secara terintegrasi antarbeberapa moda transportasi. Halte adalah titik paling awal di mana penumpang naik dan sekaligus juga titik akhir di mana penumpang turun. Sementara terminal/stasiun selain berfungsi sebagaimana halte, juga memiliki fungsi utama sebagai titik perpindahan antarmoda transportasi bagi penumpang pengguna transportasi publik.

Baca juga:  Membicarakan Kematian Sendiri

Kehadiran transportasi publik berbasis aplikasi online, serta kemudahan masyarakat memiliki kendaraan pribadi roda dua; tidak dapat kita dikotomikan dengan keberadaan transportasi publik. Karena pada dasarnya kehadiran angkutan tidak dalam trayek tersebut justru melengkapi aneka moda transportasi publik yang hanya beroperasi dalam trayek tertentu.

Pemberlakuan transportasi publik yang terintegrasi antarmoda transportasi, menunjukkan visi jauh ke depan dari para penentu kebijakan. Dalam hal ini berarti bahwa para kepala daerah tersebut sudah menyiapkan kota yang nyaman di masa depan guna mobilitas penghuninya. Transportasi publik di banyak negara maju justru memiliki fungsi sosial sebagai sarana mengikis kesenjangan sosial di tengah masyarakat, karena transportasi publik sebagai angkutan massal tidak membedakan strata sosial para penumpangnya.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *