Warga melintasi banjir di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Kamis (2/1/2020). Banjir tersebut akibat luapan sungai Ciliwung. (BP/ant)

Oleh GPB Suka Arjawa

Banjir yang melanda Jakarta mengejutkan masyarakat Indonesia karena terjadinya seolah tiba-tiba. Lebih menarik perhatian lagi karena peristiwa itu terjadi justru di tahun baru. Masyarakat Jakarta tidak mampu merayakan Tahun Baru 2020 dengan tenang karena menghadapi banjir sedemikian parah.

Mobil hanyut, permukiman mewah terendam sampai lebih dari semeter, pinggiran kali yang tersapu merupakan indikator bagaimana parahnya banjir yang terjadi di ibu kota Indonesia itu. Pada umumnya banjir terjadi secara ‘’bertahap’’. Artinya setelah hujan berhari-hari, maka pada ‘’puncak’’ deras hujan, banjir akan menyertai. Masyarakat akan mampu mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan tersebut. Dari berita yang beredar, banjir di Jakarta justru terjadi hanya karena hujan setengah hari dan deras. Konon curah hujan itu hampir sama dengan apa yang terjadi 150 tahun yang lalu. Jadi ini fenomenal.

 

Banjir ada yang mengelompokkan sebagai bencana alam. Mungkin itu benar. Tetapi ada baiknya juga apabila titik berat yang harus dilihat adalah sebagai bencana sosial yang menekankan pada titik dampak kepada masyarakat secara luas. Dengan melihat skala pada dampak sosial maka memungkinkan adanya faktor-faktor politis yang terlibat di dalamnya. Keterlibatan faktor politis ini bisa menjadi penyebab dan juga menjadi solusinya.

Maka, jika ada yang mengatakan bahwa banjir Jakarta yang terjadi di tahun baru itu disebabkan oleh kerusakan alam yang ada di hulu sungai yang ada di wilayah Bogor, maka faktor politis yang memicu adalah adanya kelonggaran izin untuk melakukan perusakan di hulu sungai atau di daerah pegunungan.

Baca juga:  Memori Kolektif ‘’New 7 Wonders’’

Bisa jadi itu disebabkan oleh perusakan hutan atau pembangunan perumahan yang tidak terkendali. Pada konteks ini, daerah Puncak sering sekali dikait-kaitkan dengan penyebab banjir di Jakarta. Di sini diperlukan kebijakan politik berupa keputusan atau peraturan agar wilayah ini dihijaukan kembali. Rumah-rumah yang berdiri tanpa izin harus segera diambil alih dan kemudian dijadikan wilayah penghijauan.

Tentu saja membuat penghijauan bukan perkara gampang dan bukan secepat membalik telapak tangan. Namun, justru karena itulah diperlukan keberanian sejak sekarang tanpa menunda-nunda lagi untuk melakukan perbaikan dan menertiban bangunan dan pembangunan di wilayah tersebut.

Politik di sini dapat dibagi dua, yakni dalam pembuatan keputusan untuk menindak bangunan-bangunan yang melanggar aturan tersebut. Dan kedua adalah pendekatan sosial kepada para pemilik bangunan agar memahami kondisi yang ada. Sebagai pelanggar, tentu dapat dengan mudah untuk ‘’dibredel’’.

Tetapi di Indonesia pendekatan humanis perlu dilakukan agar tidak menimbulkan masalah, seperti balas dendam dan sejenisnya. Dalam berpolitik, diperlukan keberanian dan kerja sama. Keberanian diperlukan untuk membuat keputusan tersebut, dan kerja sama diperlukan antara pemda yang terkena banjir dengan pemda yang mengomandoi wilayah Puncak tersebut.

Terhadap banjir di Jakarta, ada juga suara-suara yang mengatakan bahwa ini disebabkan oleh masih susahnya menata permukiman penduduk, terutama yang ada di daerah pinggiran kali. Ada yang menyebutkan bahwa bukan saja pinggiran kali yang ditempati, bahkan juga ada yang menutup, menimbun kali untuk dibuatkan bangunan baru. Jika hal ini benar, maka sebuah keberanian memang diperlukan untuk menata penduduk di wilayah ini. Politisi bisa jadi mempunyai ketakutan untuk melakukan penggusuran karena basis politiknya justru berada pada masyarakat yang menguasai bantaran kali.

Baca juga:  Mengenal PNBP dan Kondisinya Kini

Jika ini terjadi maka yang harus dilakukan adalah pendekatan politis berupa penyadaran. Para politisi yang telah memegang kekuasaan di daerah banjir haruslah memberi tahu bahwa tanpa adanya relokasi bukan saja wilayah yang lebih luas akan terkena banjir, tetapi sudah sangat jelas penghni bantaran kali itu akan menjadi korban utama.

Bahkan mungkin menjadi pihak yang paling tersapu banjir dan kemudian kehilangan tempat tinggal. Banyak yang menyebutkan bahwa para penghuni pinggiran kali ini adalah masyarakat marginal, yang secara sosial maupun ekonomi berada pada struktur paling bawah. Dan karena itu biasanya mudah dipengaruhi oleh politisi dengan berbagai janji.

Tetapi banjir ini adalah bukti nyata tentang bencana dan tentang bahaya. Mau tidak mau harus dibersihkan agar kali dapat diperlebar. Keputusan politik yang paling tepat adalah menggusurnya dari bantaran kali dan kemudian menempatkannya pada bangunan baru yang bisa jadi dalam bentuk rumah susun.

Jangan kemudian hanya semata-mata berposisi sebagai pendukung basis politik terbanyak, pemerintah kemudian tidak berani mengambil keputusan untuk melakukan relokasi terhadap penduduk di wilayah ini. Siapa pun dia, entah pendukung politis, penyumbang, kelompok bertatto, haruslah ditindak dengan tegas.  Apabila dirunut ke belakang, tentu saja ini juga mempunyai masalah politis yakni ketidakmampuan pemerintah menciptakan pemerataan kesejahteraan yang membuat banyak migran dari desa atau daerah dan kemudian menempati wilayah bantaran kali.

Mengambil contoh Jakarta yang sudah berkali-kali gagal mengendalikan banjir, bahkan sudah pula disindir lewat lagu pada dekade tujuh puluhan, maka kota-kota yang ada di daerah di Indonesia harus segera mengambil langkah. Dalam konteks paling awal, pemahaman atas perubahan cuaca mesti mendapatkan perhatian dari instansi pemerintah terkait. Prakiraan cuaca yang presisif akan menjadi langkah awal bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi cuaca ekstrem. Pada tataran kebijakan, tidak bisa ditolerir terhadap daerah-daerah aliran sungai yang disesaki penghuni. Konon, Surabaya telah berhasil menerapkan hal ini.

Baca juga:  Denpasar Hentikan Dana PHR, Bupati Bangli Ancam Sulap Sungai Jadi TPA

Yang perlu lagi mendapat perhatian adalah sikap terhadap sampah. Saat ini pemerintah dan masyarakat terlalu memandang remeh sampah. Pada tingkat pemerintah, pengangkutan sampah tidak dilakukan dengan sikap profesional.

Mobil sampah, cara pengangkutan, penampungan, dan gaji karyawan pengangkut kurang diperhatikan. Akibatnya mobil sering mogok, diangkut dengan bak terbuka, sehingga menyebarkan bau tidak sedap di jalan, bertengkar soal penampungan dan kemudian pegawai yang malas.

Hasil akhirnya adalah sampah menumpuk di rumah penduduk. Di samping berpotensi menyebarkan penyakit, masyarakat juga frustrasi yang membuat pembuangan sampah kembali dilakukan ke got atau sungai.

Jadi, banjir bukan hanya disebabkan oleh curah hujan yang banyak, bantaran kali yang disesaki penduduk, pembangunan yang tidak terarah, tetapi kurang profesionalnya para pengelola pengangkut sampah

. Termasuk juga yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sampah adalah bagian dari kehidupan sosial yang bila dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, akan menyuburkan tanaman. Jika tidak, justru akan membebani masyarakat dan menciptakan banjir.

Penulis, Staf Pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *