Ilustrasi. (BP/dok)

Tidak saja kehidupan sosial di dunia ini mengalami disruption, tetapi cuaca juga tidak dapat kita prediksi dengan baik. Cuaca juga disrupsi, mengalami kekacauan dan sukar diprediksi. Padahal iklim dan cuaca merupakan bagian yang melekat pada diri manusia yang menentukan keberhasilan aktivitasnya, bahkan perjalanan hidupnya.

Kekeringan, hujan dan banjir sangat menentukan perjalanan hidup seseorang. Mereka yang mampu mengatasi itu, mereka relatif akan dapat berjalan lancar dalam hidupnya. Akan tetapi sekali lagi, tidak semua orang mampu mengatasi persoalan tersebut.

Itulah yang harus kita pikirkan di Indonesia sekarang. Harus diakui bahwa masalah iklim dan cuaca menjadi persoalan bagi masyarakat sekarang. Empat bulan terakhir di tahun 2019, kita mengalami masalah kepanasan di sebagian besar wilayah Indonesia. Kita di Bali termasuk mengalami hal seperti itu.

Baca juga:  Merevitalisasi Pariwisata Bali

Di masa lalu, tidak pernah atau jarang masyarakat Bali yang merasakan cuaca panas yang konon sempat mencapai 35 derajat Celsius.  Kalaupun di masa lalu pernah mengalami hal seperti ini, mereka masih mempunyai tempat untuk berteduh untuk mencari hawa sejuk. Rimbunnya Bali sampai dekade delapan puluhan, memungkinkan udara sejuk masih dapat dirasakan. Tetapi begitu tanah pertanian dan ladang dibabat besar-besaran untuk perumahan dan pertokoan, maka tempat berteduh tidak ada dan panas pun terasa terik. Barangkali ini juga menyumbang rasa sesak pada masyarakat sekarang.

Di hari pertama Tahun Baru 2020 yang lalu, di tengah orang sibuk begadang untuk menyambut tahun baru, suasana muram justru terjadi di ibu kota Indonesia, Jakarta. Banjir besar yang menewaskan belasan orang serta menenggelamkan sebagian besar wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi membuat masyarakat Indonesia terkejut.

Baca juga:  Fenomena Ini Sebabkan Suhu Bali Capai 35 Derajat Celsius

Konon yang paling utama menjadi penyebab banjir ini adalah curah hujan yang tinggi, bahkan paling tinggi dalam satu setengah abad terakhir. Bayangkan, ukurannya sudah abad, bukan lagi dekade. Tentu hal ini mengejutkan kita semua.

Bahwa Jakarta mengalami hal seperti itu, sudah jelas penyebab selanjutnya adalah perumahan dan lingkungan yang sangat tidak tertata dan sudah rusak. Bahwa telah terjadi hujan yang demikian deras, mungkin Jakarta tidak akan banjir manakala permukiman dan lingkungan tertata rapi.

Kita di Bali harus melihat fenomena banjir Jakarta ini dengan seksama dan menjadikan sebagai gambaran terhadap wilayah Bali. Lingkungan di Bali, terutama di kota-kota, sudah sangat tidak rapi lagi. Keserakahan sangat terlihat dengan banyaknya jalur hijau yang ditempati, persawahan yang dulu sempat menghiasi Denpasar diubah menjadi perumahan dan pertokoan.

Baca juga:  Diguyur Hujan, Jalan Banyucampah-Kebung Putus

Apalagi di wilayah-wilayah pinggiran Denpasar. Di wilayah Badung juga demikian, apalagi kalau kita menyebut Kuta dan daerah yang berdekatan dengan wilayah itu. Termasuk juga di Tabanan dan Gianyar.

Kita sudah tidak dapat lagi memperkirakan cuaca dengan baik. Tidak saja di Indonesia, di Bali pun harus sangat mewaspadai masalah banjir ini. Salah dalam menafsirkan cuaca akan dapat membuat masyarakat di Bali, entah di pegunungan karena longsor entah di kota karena banjir akan menderita. Pemerintah tidak harus bermain-main dengan politik saja, apalagi politik yang sekadar wacana. Mari kita konkretkan upaya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *