Oleh M. Setyawan Santoso
Saya geram sekali mendengar media asing Fodors.com menulis bahwa Bali masuk dalam places to reconsiders in 2020 (destinasi yang tidak direkomendasikan).Setelah saya baca, ternyata Venice, Amsterdam, Koh Tachai (Thailand) pun masuk dalam daftar itu sejak tahun 2018.
Sementara kota Barcelona, Angkor Wat (Kamboja) bersama dengan Bali juga masuk ke dalam no list 2020. Aspek yang dipertimbangkan oleh Fodors adalah sosial, budaya, lingkungan hidup sampai dengan politik. Di Bali, isu yang disampaikan terkait dengan sampah, sumber daya air dan perilaku wisatawan.
Isu ini sudah dibantah oleh insan pariwisata mulai dari asosiasi parisiwata, pemerintah provinsi Bali hingga Kemenparekraf. Meskipun percaya bahwa Bali tahun 2020 tetap menjadi destinasi wisata unggulan, namun argumentasi saya bukan dengan cara membantah kritiknya Fodors, melainkan dengan menyampaikan keunggulan komparatif Bali.
Menurut teori Heckscher Ohlin (1933), negara memiliki keuntungan apabila melakukan ekspor barang (jasa) yang diolah dari faktor produksi yang berlimpah di daerah tersebut (factor endowment). Saya berargumen bahwa Bali memiliki keunggulan di bidang wisata kesehatan, sehingga Bali memiliki peluang untuk meraih keuntungan dari ekspor jasa pariwisata.
Sebagai daerah wisata internasional, Bali telah memiliki salah satu aspek penting destinasi internasional yaitu aspek kesehatan. Suatu destinasi wisata disebut wisata kesehatan (health tourism) jika kesehatan sudah menjadi tujuan utama wisatawan berkunjung ke daerah tersebut. Wisata kesehatan (health tourism) dapat terdiri dari wisata pengobatan (medical tourism) dan wisata kebugaran (wellness tourism). Apakah Bali pantas disebut sebagai Indonesian health tourism destination?
Mari kita buktikan. Dari data yang disajikan Badan Pengembangan Pemberdayaan SDM Kesehatan (BPP-SDMK) Kementrian Kesehatan RI, pada tahun 2018, Bali memiliki tenaga medis dokter sebanyak 3 ribu dokter.
Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan Jawa Timur atau Jawa Tengah yang memiliki masing masing 12 ribu dan 16 ribu dokter. Namun apabila dibandingkan secara rasio penduduk terhadap dokter, satu orang dokter di Bali cukup melayani 1,3 ribu pasien, lebih baik dibandingkan dengan Jatim sebesar 4,5 ribu dan Jateng 5,8 ribu.
Jumlah dokter yang banyak inilah yang melayani wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali. Indikator lain peningkatan pelayanan kesehatan adalah meningkatnya jumlah rumah sakit, puskesmas, perawat, bidan dan tenaga penunjang kesehatan.
Sebagai medical tourism Bali memiliki setidaknya ada 5 rumah sakit bertaraf Internasional di daerah pusat-pusat wisata. Selain itu Bali memiliki pelayanan pengobatan khusus seperti RSU Sanglah memiliki keunggulan di bidang penyakit jantung, RS Gianyar di bidang syaraf, RS Badung di bidang penyakit trauma dan RS Bali Mandara di bidang penyakit kanker.
Sebagai wisata wellness tourism, Spa di Bali mendapat predikat destinasi wisata spa dan kebugaran terbaik di dunia oleh majalah Seling Travel London pada tahun 2017. Penghargaan tersebut terjadi karena pelayanan yang sangat baik dari para instruktur, terapis, tenaga ahli spa, layanan pijat dan urut.
Saat ini Bali memiliki lebih dari 200 layanan Spa yang tergabung dalam Bali Spa and Wellness Association. Meskipun demikian diperkirakan ada ribuan Spa yang beroperasi di Bali. Berdasarkan data BPP–SDMK, Bali memiliki lebih dari 10.600 tenaga penunjang medis yang mencakup para terapis spa.
Bali memiliki rasio tenaga penunjang kesehatan terbanyak di Indonesia yaitu sebanyak 1 terapis 390 orang. Prestasi ini hanya bisa disaingi oleh DKI Jakarta dengan rasio 1 terapis per 310 orang.
Spa di Bali memiliki kekhasan mutlakkarena menggunakan aromatherapi khas loloh yang berasal dari bahan alami yang hanya ditemukan di pulau Bali. Treatmen Spa menggunakan massage oil, sabun, scrub dan cairan aromatherapiyang bukan hanya menimbulkan relaksasi tetapi juga bermanfaat untuk menyegarkan pernapasan, menghaluskan kulit.
Ramuan loloh berasal dari daun cemcem atau kedondong hutan. Ramuan loloh tertuang di naskah kuno lontar bernama Taru Pramana yang tertulis ribuan tahun yang lalu, kemudian diajarkan oleh nenek moyang orang Bali kepada cucu-cucunya sebagai ramuan kesehatan dan kebugaran. Dengan loloh maka wisatawan yang telah berolah raga dan terapi Spa akan merasa tubuhnya makin sehat dan segar.
Singkatnya, potensiBali sebagaihealth tourism dan wellness tourismdidukungbeberapa fenomena berikut. (1). Biaya pengobatan di dunia semakin tinggi.Tingginya biaya dikarenakan pengobatan adalah bisnis jasa dimananilai jasa di negara maju relatif lebih mahal dibandingkan dengan negara berkembang.
Menurut Rene Marie Stephano, CEO Global Healthcare Resources and Medical Tourism Association yang dilansir dari harian Healthy Travel Media, terdapat 10 destinasi wisata kesehatan di dunia yang menyajikan pelayanan kesehatan berkualitas dengan harga yang murah, yaitu India, Brazil, Malaysia, Thailand, Turkey, Mexico, Costa Rica, Taiwan, South Korea, Singapore. Ada 6 negara Asia yang termasuk di dalamnya. Sayang sekali Indonesia belum termasuk di dalamnya.
(2). Meningkatnya tren special interest tourism wisata minat khusus seperti wisata kesehatan, kuliner, olah raga, budaya, kelestarian lingkungan dan wisatawan lainnya. Bali dengan jumlah dokter dan rumah sakit bertaraf internasional dapat menjadi medical tourism untuk pasar Asia Pasifik. Bali denganribuan spa beraromalolohmenjadiwellness tourism paling popular di dunia.
(3). Terjadi perubahan selera wisatawan. Dari laman Popsugar edisi Maret 2019, tren pariwisata saat ini adalah pariwisata aktif. Artinya, wisatawan ketika berlibur tetap aktif melakukan kegiatan seperti fitness, yoga, main ski, berkuda, bersepeda dan mendaki gunung. Orang Jepang lebih senang berlibur ke Hawai karena di sana bisa belajar selancar.
Begitu pula orang Eropa lebih menyukai Bali karena terdapat pusat pusat fitnes dan yoga dengan pemandangan alam yang cantik. Disebutkan bahwa Bali sebagai the relaxing island destination karena memiliki banyak destinasi wisatawan aktif yang mampu membangkitkan perasaan relax wisatawan. Keunggulah ini menyebabkan Bali telah masuk ke dalam 7 health travel destinations yang direkomendasikan.
Sekarang, hal terpenting adalah bagaimana mengubah peluang health tourismmenjadi menjadi ladang devisa kita. Untuk mewujudkan cita cita tersebut, berikut yang harus kita terapkan. (1). Biaya pengobatan yang terjangkau.
Jika menginap di Bali merupakan hal yang murah, maka sebaiknya biaya berobat juga demikian. Di Malaysia negara mengatur standar pelayanan kesehatan, memberi subsidi bagi RS Negeri dan mengatur batas atas biaya pengobatan RS Swasta. Apakah hal yang sama dapat kiita terapkan?
(2). Memberikan fasilitas layanan terpadu bandara-rumah sakit. Layanan ini berupa penjemputan, layanan bandara, transportasi dari dan ke bandara sampai dengan cek in di rumah sakit.
Sebaiknya rumah sakit memesankan lounge khusus bagi pasien yang berasal dari luar negeri sehingga pelayanan rumah sakit sudah dirasakan sejak pertama menginjakkan kaki di Bali. (3). Memberikan layanan Hotel di RS.
Mengingat tujuan wisatawan berkunjung adalah untuk berwisata berobat, maka keuntungan wisatawan berobat ke Bali adalah dapat menikmati pengobatan sekaligus menikmati indahnya suasana di Bali. (4). Melakukan promosi health tourism.
Kementerian yang menangani kesehatan dan pariwisata dapat berkoordinasi mempromosikan RS nya keseluruh di Bali ke seluruh dunia. Promosi ini misalnya dapat dilakukan dengan payung Indonesia Health Tourism Year atau dengan ungkapan lainnya. Fasilitas yang diberikan mulai dari konsultansi calon pasien sebelum ke Indonesia, Peta Perjalanan (itenerary). Rumah sakit dapat memanfaatkan layanan digital dengan membuka informasi dan regristrasi dalam berbagai bahasa.
Pengamat Ekonomi, Bekerja di Bank Indonesia