Wisatawan berjalan-jalan di Kota Denpasar. (BP/dok)

Kebijakan pemerintah terkait pariwisata telah berubah. Dulu menargetkan wisatawan sebanyak-banyaknya. Tak peduli wisatawan kaya atau miskin. Menginap di hotel berbintang atau tidur berdesak-desakan di kamar kos-kosan. Yang penting mereka mau datang ke Bali.

Kini kebijakan tersebut telah ditinggalkan. Pemerintah khususnya di Bali menargetkan wisatawan yang berkualitas. Walaupun tidak banyak jumlahnya tetapi uang yang dihabiskan melimpah. Demikian pula tinggal di Bali juga dalam jangka waktu yang lebih lama. Ini tentu sesuai dengan wisata budaya yang dikembangkan Bali. Jadi mereka yang datang ke Bali betul-betul ingin menikmati budaya, alam dan adat istiadat Bali.

Perubahan dari pariwisata massal menjadi pariwisata yang berkualitas tentu akan menimbulkan persoalan. Sebab, di Bali sudah dibangun kamar hotel yang sangat banyak. Demikian pula berbagai objek dikembangkan. Baik yang berbasis masyarakat maupun sentuhan tangan investor. Tentu hal ini akan menimbulkan persoalan baru ketika kunjungan wisatawan berkurang.

Baca juga:  Gunung Agung Berstatus Awas, Australia Keluarkan "Travel Advice"

Akan muncul perang tarif kamar hotel seperti yang terjadi saat ini. Akan ada hotel atau restoran yang mengurangi tenaga kerja. Namun bukan berarti persoalan tersebut menghambat program mendatangkan wisatawan yang berkualitas. Sebab, Bali sudah sangat krodit. Tidak saja krodit wisatawan, juga banyaknya pekerja yang datang ke Bali.

Inilah yang akan mempercepat kehancuran alam Bali. Sebab, pariwisata mengandung potensi kemakmuran. Pada sisi lain pariwisata juga mengandung potensi penghancur yang amat dahsyat. Maka mengembalikan pariwisata Bali sudah menjadi keharusan. Keharusan untuk menjaga alam, menjaga budaya dan keharusan menjaga manusia Bali. Apalagi Bali mengusung konsep pariwisata budaya. Jika memang mengembangkan pariwisata budaya, maka pastilah yang diutamakan kualitas, bukan kuantitas.

Baca juga:  Antara Terorisme dan Kemiskinan

Ada banyak ide ketika kita membicarakan masalah pariwisata. Pada masa lalu, Bali diperkenalkan sebagai daerah tujuan wisata internasional. Keunikan budaya menjadi daya tariknya. Interaksi sosialnya yang masih mementingkan keselarasan hidup dengan alam menjadi pedomannya. Cara bercocok tanam dan arsitektur tradisionalnya tetap mempunyai kaitan erat dengan keselarasan alam.

Pariwisata dengan modal budaya jelas ada baik-buruknya. Positifnya, budaya kita dikagumi oleh masyarakat luar. Akan tetapi, memamerkan kebudayaan sebagai objek pariwisata terasa kurang adil. Gerak tindak kita, baik yang bersifat adat maupun agama, tiba-tiba saja disaksikan secara bebas.

Baca juga:  “City Tour” Kurang Diminati, “Shuttle Bus” Terancam Mubazir

Nampak terasa ada kekurangan etika pada konteks ini. Tentu tidak bagus manakala umat sedang sembahyang, tiba-tiba ditonton dengan menggunakan pakaian yang tidak pantas. Inilah yang mesti kita atur.

Sejauh mana mereka bisa masuk ke ranah ritual umat Hindu. Jangan sampai semua bebas demi uang. Harus ada rambu-rambu yang jelas di mana wisatawan boleh masuk di mana tidak. Rambu-rambu serupa juga harus ada terhadap investor. Apalagi di Bali sudah ditetapkan mana kawasan suci mana tidak. Kalau saja itu ditaati, maka Bali benar-benar berpedoman pada pariwisata budaya.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *