DENPASAR, BALIPOST.com – Masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan media Inggris mengenai mahasiswa Indonesia yang menjadi pelaku pemerkosaan berantai terhadap banyak pria di negara tersebut. Dari kasus ini, bisa dilihat jika korban pemerkosaan tidak mengenal gender.
Sayangnya di Indonesia, kasus pemerkosaan sangat jarang terungkap. Hal ini dikarenakan kurangnya bukti akibat korban terlambat melapor atau korban takut terkena sanksi sosial jika melapor ke pihak yang berwajib.
Dokter spesialis kejiwaan, Dr. dr. A.A. Sri Wahyuni, SpKJ, Minggu (12/1) mengatakan korban pemerkosaan, baik itu pria maupun wanita mengalami efek trauma yang sama. Ringan dan berat trauma yang dialami tergantung pada kepribadiannya. ”Korban biasanya akan menjadi stress akut, menjadi pendiam dari biasanya, malu dan takut bicara dengan siapapun. Mereka juga terkadang bingung mengenai peristiwa yang dialaminya dan tidak tahu mau mengadu ke siapa,” ujar Sri.
Mengenai kasus di Inggris, menurut Sri, bukan berarti tidak pernah terjadi di Bali. Ada satu kasus terlaporkan, beberapa anak laki-laki dilecehkan secara seksual oleh pria dewasa.
Kasus ini terungkap karena ada bukti fisik. Diakui Sri jika tidak ada bukti luka atau kekerasan fisik yang diderita korban pemerkosaan, akan sangat sulit mengungkapkannya. ”Inilah mengapa kasus pemerkosaan baik yang menimpa wanita ataupun pria di Indonesia seperti fenonema gunung es,” sebutnya.
Sebab, saat melaporkan, korban diminta barang bukti berupa bukti kekerasan atau luka fisik. “Jika korban baru berani melapor beberapa bulan kemudian, bukti fisik yang bisa didapatkan lewat visum menjadi sulit didapat,” jelas Sri.
Masih jarangnya kasus pemerkosaan terungkap juga karena andil masyarakat dan pemberitaan media massa yang terkadang berlebihan dan justru mengekspos korbannya. Hal ini menyebabkan korban menjadi ragu untuk melapor karena malu akan pandangan masyarakat.
Menurut Sri, untuk kasus di Inggris pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan tidak memberatkan korban dan melindungi identitas korban. Pemberitaannya pun lebih kepada pelaku.
Selain itu di Inggris ada UU yang mengatur jika untuk kasus pemerkosaan boleh diungkap ke publik setelah kasusnya sudah jatuh vonis di pengadilan. ”Sementara untuk di negara kita terkadang pemberitaannya agak berlebihan. Ketika terjadi kasus pemerkosaan, sisi korban juga diberitakan. Tanggapan tetangga, dicari ke sekolah atau tempat kerja. Ini menambah trauma pada korban maupun masyarakat,” jelas Sri.
Dalam membantu korban, pemerintah saat ini sudah membentuk lembaga P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) tetapi hanya memayungi korban anak dan perempuan. Ada juga LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang keberadaannya ada di Pusat dan turun ke daerah jika ada kasus.
Karena itu untuk korban pemerkosaan yang menimpa laki-laki dewasa belum ada yang memayungi secara khusus dan jika mengalami pemerkosaan, mereka hanya bisa melapor ke Polisi.”Tetapi jika tidak ada bukti kasusnya tidak bisa dilanjutkan dan pelaku sudah keburu menghilang,” papar Sri. (Wira Sanjiwani/balipost)