Penduduk pendatang diminta memperlihatkan identitas diri dalam sidak duktang yang digelar Pemkot Denpasar. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Seiring tumbuhnya ekonomi Bali, komposisi demografinya juga berubah. Faktanya, Bali kini lebih didominasi kaum migran atau pendatang.

Kondisi ini, terutama terjadi di kawasan Bali Selatan. Selain berdampak positif, tingginya jumlah penduduk pendatang juga membawa dampak negatif.

Secara teori survival strategy kaum pendatang dalam bidang ekonomi jauh lebih baik. Hal ini mengakibatkan lambat laun penduduk lokal “kalah”. Jika tidak dilakukan pengelolaan dengan baik, masalah demografi di kawasan Bali Selatan rentan memicu konflik sosial.

Diakui atau tidak, gejala konflik sosial karena faktor ekonomi sudah mulai nampak. Dalam polemik angkutan konvensional dan online, misalnya, pernyataan pihak-pihak berkonflik sudah menjurus ke arah polarisasi penduduk lokal dengan pendatang.

Baca juga:  Sehari 1 Digit, Tambahan Kasus COVID-19 Bali Balik ke Belasan Orang

Demikian pula dengan beredarnya isu-isu adanya upaya penduduk pendatang merebut semua akses ekonomi dari penduduk lokal. Jumlah penduduk pendatang saat ini di Bali memang cukup tinggi.

Menurut Ketua Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan SDM Universitas Udayana Dr. IGW Murjana Yasa, S.E., M.Si., kepadatan penduduk di Bali Selatan disebabkan karena faktor migrasi netto. “Total Fertility Rate (TFR) yang relatif stabil di Bali antara 2,1 sampai 2,4 dan di Bali Selatan stabil di angka 2,1, maka dapat dikatakan penyebab utama tingginya kepadatan penduduk di Bali Selatan karena faktor migrasi netto positif yang semakin tahun jumlahnya semakin banyak,” ujarnya.

Baca juga:  Dewan Desak BRSUD Tabanan Berlakukan Pendaftaran Pasien Online   

Dengan kata lain, lanjut Murjana Yasa, proporsi penduduk pendatang semakin meningkat dibandingkan dengan penduduk lokal. Menurut Murjana Yasa, kehadiran para migran atau pendatang bisa berdampak positif dan juga negatif.

Dampak positifnya dalam penyediaan tenaga kerja, khususnya untuk proyek infrastruktur fisik yang relatif murah. Dampak negatifnya adalah persaingan kesempatan kerja, keamanan, kenyamanan dan sosial budaya. Dampak negatif ini termasuk menambah beban sosial bagi Bali.

Penduduk pendatang, kata Murjana Yasa, umumnya memiliki survival strategy atau strategi bertahan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan penduduk lokal. Jejaring mereka dalam usaha dan lainnya juga sangat kuat.

Kelemahan orang Bali atau penduduk lokal justru mati di jejaring usaha secara ekonomi. Baik di sektor produksi, distribusi dan lebih-lebih lagi di sektor konsumsi. “Dari aspek ini dapatkah kita mengatakan penduduk lokal Bali memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan penduduk pendatang. Di samping kreativitas, keragaman, dan kekuatan budaya yang kita punya, sepertinya kita perlu meniru survival strategy-nya para pendatang,” papar Dosen FEB Universitas Udayana yang juga Ketua IPADI Cabang Bali ini.

Baca juga:  Gegara Ini, Wawali Denpasar Mengaku Sering Di-"bully" di Mendsos

Murjana Yasa menambahkan, yang terpenting juga mengembangkan jejaring ekonomi. Ekonomi lemah karena jejaringnya tidak dikuasai atau telah dikuasai pendatang. “Menguatkan jejaring ekonomi dalam upaya membangun SDM berdaya saing sangat penting bagi semeton Bali,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *