DENPASAR, BALIPOST.com – Bali Selatan secara geografis merupakan tanah yang landai dan subur. Sejak masa awal dikembangkan hingga kini, kawasan ini selalu menjadi arena pertarungan banyak kepentingan dalam merebut akses ekonomi, tidak hanya oleh penduduk lokal tetapi juga penduduk migran yang terus membanjir.
Akibatnya, masalah demografi di kawasan Bali Selatan juga membawa dampak pada kerusakan tata ruang. “Kawasan Bali Selatan adalah arena pertarungan banyak kepentingan,” kata Nyoman Gede Maha Putra, S.T., M.Sc., Ph.D., Akademisi Faklutas Teknik Universitas Warmadewa.
Menurut dosen yang memiliki fokus pada tata ruang kota ini, padatnya penduduk di kawasan Bali Selatan sudah terjadi sejak pertanian mulai berkembang. Lalu di awal abad ke-20, Bali Selatan dikonstruksi sebagai daya tarik wisata oleh pemerintah, sehingga konsentrasi ekonomi tetap ada di selatan.
Jadi sejak masa pertanian, masa perkenalan wisata hingga sekarang Bali Selatan menjadi tempat akumulasi modal. “Tempat di mana terjadi akumulasi modal biasanya juga menjadi arena pertarungan banyak kepentingan. Bali Selatan adalah tempat manusia berjuang mempertahankan kebutuhannya yang paling dasar: makan dan tempat tinggal,” tegas mantan Ketua Senat Mahasiswa FT Unud ini.
Masalah timbul saat tidak ada kekuatan politis yang bisa menata atau mengelola “pertarungan” ini. Masalah besar adalah rusaknya keseimbangan tata ruang karena terlalu besarnya jumlah populasi penduduk.
Saat ini kerusakan tata ruang sudah mulai terjadi, dibuktikan dengan makin sempitnya ruang terbuka di kawasan Bali Selatan. Lahan-lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau lambat laun mulai habis. Belum lagi persoalan status kepemilikan lahan yang sudah mulai banyak beralih ke penduduk migran.
Menurut Maha Putra, demografi dan masalah tata ruang ini harus dapat dikelola dengan baik agar dampak negatif tidak menimbulkan kerugian yang semakin besar. (Winata/balipost)