Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan empat poin kebijakan pendidikan ‘’Merdeka Belajar’’, yang terdiri atas penggantian format UN, pengembalian kewenangan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) ke sekolah, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang hanya satu lembar, dan naiknya kuota jalur prestasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari sebelumnya 15 persen menjadi 30 persen.
Kebijakan pendidikan sering ditanggapi secara langsung dan menuai kritik dan belum apa-apa sudah ditolak. Meski demikian, kebijakan Pak Mendikbud kali ini yang memang sangat mengejutkan tetapi mengajak merenung. Para guru menyambut segala perubahan mendasar ini dengan segala keraguan dan bergeming manis.
UN yang selama ini hapalan, diganti dengan asesmen kompetensi minimum. Materi kognitifnya hanya dua. Satu adalah literasi dan yang kedua adalah numerasi. Kompetensi yang diukur benar-benar minimum, yakni literasi dan numerasi. Literasi bukan mengukur kemampuan membaca tetapi menganalisis suatu bacaan.
Literasi berupa kemampuan dasar membaca. Dengan kemampuan dasar ini siswa mengembangkan kemampuan menganalisis bacaan serta kemampuan memahami konsep-konsep di balik teks. Karena itu, literasi adalah kompetensi bernalar menggunakan bahasa. Numerasi adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka.
Literasi dan numerasi bukan mata pelajaran bahasa atau matematika, melainkan kemampuan murid-murid menggunakan konsep itu untuk menganalisis sebuah materi yang disajikan dalam suatu bacaan. Numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk: (a) menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita.
Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika secara praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis, misalnya grafik, bagan, dan tabel.
Numerasi tidaklah sama dengan kompetensi matematika yang keduanya berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi perbedaannya terletak pada praktik pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pengetahuan matematika tidak membuat seseorang memiliki kemampuan numerasi. Numerasi mencakup keterampilan mengaplikasikan konsep dan kaidah matematika dalam situasi real sehari-hari.
Sebagai contoh, seorang siswa belajar membagi bilangan bulat dengan bilangan bulat lainnya. Ketika bilangan yang pertama tidak habis dibagi, maka akan ada sisa. Siswa diajarkan menuliskan hasil bagi dengan sisa, lalu mereka juga menyatakan hasil bagi dalam bentuk desimal.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hasil bagi yang presisi (dengan desimal) sering kali tidak diperlukan sehingga sering kali dilakukan pembulatan. Kaidah pembulatan ke bawah dilakukan jika nilai desimalnya lebih kecil daripada 5, pembulatan ke atas jika nilai desimalnya lebih besar daripada 5, dan pembulatan ke atas atau ke bawah bisa dilakukan jika nilai desimalnya 5. Namun, dalam konteks real, kaidah itu tidaklah selalu dapat diterapkan.
Contohnya, jika 40 orang akan bertamasya diangkut minibus memuat 12 orang, secara matematis dibutuhkan untuk memuat semua orang itu adalah 3,333333 minibus. Jumlah itu tentu tidak masuk akal sehingga dibulatkan ke bawah menjadi 3. Akan tetapi, jika sebuah tempat duduk hanya boleh diduduki oleh satu orang, artinya ada 4 orang tidak mendapatkan tempat duduk. Oleh karena itu, minibus yang seharusnya dipesan adalah 4.
Perlu dicermati bahwa numerasi membutuhkan pengetahuan matematika yang dipelajari dalam kurikulum. Akan tetapi, pembelajaran matematika itu sendiri belum tentu menumbuhkan kemampuan numerasi. Literasi numerasi bersifat praktis, berkaitan dengan kewarganegaraan (memahami isu-isu dalam komunitas), profesional (dalam pekerjaan), bersifat rekreasi (misalnya, memahami skor dalam olahraga dan permainan), dan kultural (sebagai bagian dari pengetahuan mendalam dan kebudayaan manusia madani).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim kembali mengingatkan bahwa kompentensi menghafal tidak diperlukan. Kompetensi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini meliputi kreativitas, kemampuan bekerja sama dan berkolaborasi, berpikir dan memproses informasi secara kritis, mempertanyakan validitas sebuah informasi, pemecahan masalah dan kemampuan berempati.
Sistem UN lebih menekankan hapalan dengan ujian berbagai mata pelajaran di akhir jenjang kelas. Akibatnya, daya nalar siswa tidak berkembang, karena hanya berorientasi pada nilai. UN hanya menilai siswa dari aspek hapalan.
Tetapi, daya nalar siswa berdasarkan apa yang ditemukan dari pengalaman selama di sekolah tidak tersalurkan. Gerakan di sekolah di Indonesia saat ini adalah menyongsong model UN kompetensi minimum, yaitu dengan mengintegrasikan literasi ke dalam pembelajaran. Semua mata pelajaran dilaksanakan dengan pendekatan literasi dan numerasi.
Membaca adalah basis kegiatan belajar agar siswa mendapat pengalaman membaca secara intensif. Para guru harus mengubah kemasan materi pembelajaran menjadi bacaan. Pada setiap pelajaran guru menyiapkan materi bacaan sesuai dengan mata pelajarannya. Di kelas siswa dibimbing membaca.
Sejalan dengan asesmen kompetensi minimum, tingkatan kegiatan atau praktik pembelajaran di kelas bisa berdasar pada enam tingkatan kognitif. Esai ini menawarkan hal yang praktis bagi guru dalam membangun pembelajaran literasi dan numerasi. Guru mempersiapkan materi dalam bentuk bacaan. Bacaan ini dibaca oleh siswa.
Guru tidak berceramah. Dari bacaan ini siswa tahu (fakta, konsep, definisi, peristiwa, tahun, daftar, rumus, atau teori). Pada tingkatan selanjutnya, siswa berlatih menguraikan hubungan dua/tiga/atau lebih variabel yang ditemukan dalam bacaan.
Pada tingkatan selanjutnya, mereka berlatih menggunakan pengetahuan yang didapat dalam bacaan untuk memecahkan suatu persoalan nyata. Selanjutnya siswa berpraktik menguraikan unsur-unsur atau bagian-bagian suatu informasi atau pengetahuan. Tingkatan berikutnya adalah menghubungkan beberapa informasi menjadi satu bangunan pengetahuan. Seluruh tahap belajar tersebut diakhiri pada kemampuan siswa mengambil keputusan (baik/buruk, benar/salah, tinggi/rendah, hina/hormat, dan lain sebagainya).
Setelah membaca cerita Tuung Kuning, misalnya, siswa tahu tentang ‘’suami istri’’, ‘’istri hamil’’, ‘’suami penjudi’’, ‘’ayam jago’’, ‘’kedudukan anak perempuan lebih rendah daripada anak laki-laki’’, ‘’persalinan’’, ‘’tindakan berbohong istri kepada suaminya’’. Selanjutnya siswa menguraikan hubungan ‘’bebotoh dan istrinya’’, hubungan ‘’bebotoh dan ayam jagonya’’, hubungan/kedudukan ‘’laki-laki dan perempuan’’.
Lewat hubungan ini siswa dapat memahami keadaan di masyarakat bahwa suatu keluarga sangat menginginkan memiliki anak laki-laki. Siswa berpraktik menguraikan bagian-bagian cerita, seperti ‘’perempuan/istri’’, ‘’laki-laki/suami’’, ‘’ayam jago’’, dan ‘’bidadari’’. Pada tahap selanjutnya siswa membangun pengetahuan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan.
Pada tahap akhir pembelajaran ini, siswa mengambil keputusan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Model pembelajaran inilah yang bisa mulai dicoba oleh para guru untuk menyongsong pelaksanaan asesmen kompetensi minimum.
Penulis, Dosen Undiksha Singaraja, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali