DENPASAR, BALIPOST.com – Taman hutan raya (tahura) Ngurah Rai merupakan salah satu kawasan ekowisata yang ada di tengah perkotaan. Hutan mangrove menjadi objek wisata bagi kunjungan wisatawan ke kawasan wisata yang terletak di jalan By-pass Ngurah Rai.
Kawasan tahura Ngurah rai mempunyai luas kurang lebih 1.373 hektar. Dikawasan hutan ini ditanam 18 jenis mangrove. Kawasan ini dikelola UPTD Tahura Ngurah Rai.
Menurut Agus Santoso, Kasatgas Polisi Hutan (Polhut) Kawasan Hutan Mangrove Ngurah Rai, operasional eko wisata Hutan mangrove ini di mulai sejak tahun 2006. “Saat ini, rata-rata wisatawan yang berkunjung sekitar 20 orang hingga 25 orang perhari,” katanya, Senin (13/1).
Wisatawan yang berkunjung dikenakan tiket masuk yang nilainya beragam. Untuk orang dewasa dikenakan sebesar Rp 10 ribu dan anak-anak sebesar Rp 5 ribu. Kunjungan lebih banyak saat hari–hari libur.
Namun demikian, jumlahnya tidak bisa ditebak. “Terkadang juga ada di saat hari masuk, rombongan sekolah yang datang,” jelasnya.
Di kawasan eko wisata Tahura Ngurah Rai pengunjung dapat berjalan menelusuri hutan mangrove melalui jalur traking terbuat dari kayu. Sebelah kanan dan kiri tumbuh tanaman mangrove yang menjulang tinggi.
Setiba di ujung hutan, pengunjung akan melihat hamparan air laut yang diatasnya terdapat jalan tol Bali Mandara, serta pesawat terbang yang akan mendarat maupun tinggal landas dari Bandara Ngurah Rai.
Menurut Agus, eko wisata Tahura Ngurah Rai ini merupakan kawasan konservasi. Sebagai kawasan wisata dan pendidikan, Tahura Ngurah Rai masih minim akan sarana dan prasarana pendukung.
Salah satunya berkenaan dengan sarana informasi bagi pengunjung tentang taman hutan mangrove, yang berisi visual dari kawasan tahura. “Selain itu, sarana tracking juga banyak yang rusak,” katanya.
Sebagai eko wisata, kawasan hutan mangrove ini masih belum bebas dari sampah khususnya sampah plastik. Tiap air pasang selalu membawa sampah yang akhirnya menyangkut di akar-akar tanaman mangrove.
Sampah ini disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari dibawa oleh air Sungai maupun air laut ketika mengalami pasang. Kedua alur ini membawa sampah, dan ketika surut sampah tersebut menyangkut di akar–akar tumbuhan mangrove. “Kita ini di hilir, untuk tidak menyebabkan sampah menumpuk di kawasan mangrove, maka di bagian hulu harus menjaga prilaku dengan tidak membuang sampah ke alur sungai,” katanya. (Agung Dharmada/balipost)