DENPASAR, BALIPOST.com – RSUP Sanglah menerima pasien anak dengan diagnosa crouzon syndromepada, Kamis (9/1) lalu. Kasus ini termasuk langka di dunia karena persentase kejadiannya 16 dari 1.000 kelahiran. Crouzon syndrome adalah penyakit kelainan genetik yang ditandai penutupan tulang kepala terlalu dini sehingga bentuknya tidak simetris, wajah runcing, dahi dan mata menonjol serta gangguan pendengaran.
Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Sanglah Dr. dr. I Ketut Sudartana, SpB (KBD) mengatakan, pasien itu merupakan rujukan RSUD Negara bernama Ni Made Dwi Anggraini (1,5 tahun) asal Banjar Pancar Dawa, Desa Pendem, Jembrana. ”Pasien datang pada 9 Januari dan saat ini dirawat di Angsoka,” ujarnya, Selasa (14/1).
Pasien datang dengan keluhan pada bentuk kepalanya yang tidak teratur, wajah tidak simetris dan mata yang menonjol. Setelah dilakukan pemeriksaan CT Scan pada Jumat (10/1), pasien juga menderita hydrocepalus dan adanya gangguan penutupan pada tulang kepala. ”Dari rangkaian pemeriksaan ini pasien diketahui menderita crouzon syndrome,” katanya.
Langkah operasi akan dilakukan 21 Januari untuk memperbaiki tulang kepala dan hydrocepalusnya. Operasi ini melibatkan dokter bedah saraf dan dokter bedah plastik. Operasi tahap kedua bakal dilaksanakan enam bulan kemudian untuk merekontruksi struktur gigi dan untuk memperbaiki fungsi pendengarannya. Usai operasi, pasien dirawat di ruang PICU. Pasien menggunakan JKN PBI dan seluruh biaya pengobatannya ditanggung.
Ditemui di ruang Angsoka III, Dewi digendong oleh ibunya, Cening Aporni (34). Kepala bagian belakang Dwi tampak sedikit penyok dan bagian atasnya menonjol. Meski mengalami kelainan genetik, Dwi tumbuh layaknya anak normal. Tidak ada gangguan kecerdasan. Ia bisa berbicara dan berjalan sesuai usianya. ”Sakit biasa, paling sering pilek,” jelas Cening.
Menurut ayah Dwi, Gede Parma (38), anaknya diketahui menderita kelainan pada kepala sejak lahir. Ia sempat membawa anaknya berobat dan dijadwalkan menjalani operasi, tetapi mesti menunggu lama. Akhirnya ada bantuan dari Bupati Jembrana yang memfasilitasi pengobatan anak perempuan itu sampai dirujuk ke RSUP Sanglah.
Saat berobat pertama kali status pembayarannya adalah JKN mandiri kelas III. Setelah ada bantuan, dirinya dimasukkan ke dalam peserta JKN PBI Pusat. Kesehariannya Parma bekerja sebagai tukang bangunan, sedangkan istrinya hanya ibu rumah tangga biasa. Ia berharap anaknya tetap sehat dan bisa melalui jalannya operasi. (Wira Sanjiwani/balipost)