Ritual nangunang Ida Ratu Pragina Sanghyang Jaran di Banjar Bun, Denpasar, Rabu (15/1) malam. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejumlah penari (pragina) karauhan (trance) setelah mengikuti prosesi nuwur Ida Ratu Pragina di pura. Mereka kemudian menuju sebuah tempat atau kalangan untuk mapajar atau menari.

Empat orang berbusana tari, selebihnya berpakaian adat Bali serba putih membawa kipas. Mereka menari mengikuti irama nyanyian suci yang dibawakan ibu-ibu dan nyanyian Cak yang dibawakan kaum laki-laki.

Di sisi timur kalangan berjajar empat dulang dari tanah liat berisi bara api batok kelapa. Sementara pelawatan berupa Kuda Putih distanakan di sisi barat lokasi.

Ritual nangunang Ida Ratu Pragina Sanghyang Jaran di Banjar Bun, Denpasar, Rabu (15/1) malam. (BP/eka)

Sambil menari mengikuti nyanyian, sejumlah penari nyeburin bara api. Bahkan beberapa di antaranya berjalan di atas bara api yang telah berserakan di tanah. Mereka tak merasakan panasnya bara api. Tak ada yang terluka, apalagi terbakar.

Itulah gambaran sekilas tarian sakral Sanghyang Jaran yang dipentaskan saat Karya Nangunang Ida Ratu Pragina Sanghyang Jaran Banjar Bun, Desa Adat Denpasar, Kelurahan Dangin Puri, Kecamatan Denpasar Timur, Rabu (15/1) malam.

Prosesi diawali dengan pamuspan di Merajan Banjar Bun, kemudian dilanjutkan dengan nudus atau nuwur Ida Ratu Pragina di depan palinggih Ida Ratu Begawan Penyarikan Merajan Banjar Bun. Kemudian Ida Ratu Pragina katuran mapajar atau masolah lan masiram ring geni.

Tari Sanghyang Jaran di Banjar Bun sudah ada sejak lama. Diperkirakan sekitar tahun 1905, diciptakan (kakardi) oleh Mangku Selonog. Tarian ini diciptakan melalui prosesi ritual, memohon anugerah Hyang Mahakuasa agar krama sami kenak rahayu.

Baca juga:  Pengurus DPD hingga PAC PDIP Dukung Wayan Koster 2 Periode Gubernur Bali

Tarian ini dilengkapi dengan pelawatan Ida Batara berupa Kuda Putih terbuat dari kayu, berikut sarana tari seperti pelawatan berupa kuda (jaran) berbahan kulit sapi, beserta atribut lainnya. “Tarian ini diambil dari filosofi Uncaisrawa dalam mitologi pemutaran Gunung Mandara atau Mandara Giri,” ujar Manggala Karya Jro Mangku I Wayan Sugiana, S.H. didampingi Penyarikan I Wayan Sukrayasa, S.KM., M.Si., Klian Adat Banjar Bun Mangku Made Jaya, Kepala Lingkungan Banjar Bun I Wayan Suryawan, S.H., Jro Mangku Made Antara dan Jro Mangku Istri Suari.

Keberadaan tari Sanghyang Jaran diperkuat dengan data sejarah dilangsungkannya lomba layangan Janggan tahun 1915 yang pesertanya berasal dari beberapa banjar. Saat itu layangan Janggan Banjar Bun memperoleh juara I dengan hadiah seekor kerbau.

Kini tapel layangan Janggan itu distanakan di Pura Dalem Natih di Jalan Kepundung, Denpasar. “Diperkirakan sepuluh tahun sebelum digelar lomba layangan itu, tari Sanghyang Jaran Banjar Bun sudah ada. Itu dijadikan patokan adanya tari Sanghyang Jaran di Banjar Bun. Sebelum tari Sanghyang Jaran, di Banjar Bun juga pernah ada tari Sanghyang Memedi dan tari Sanghyang Dedari,” katanya.

Baca juga:  Bali Masih Lemah di Kebersihan

Sejak kemunculannya tahun 1905, pragina tari Sanghyang Jaran Banjar Bun sudah mengalami regenerasi. Tahun 2020 ini memasuki generasi kelima.

Ritual nangunang Ida Ratu Pragina Sanghyang Jaran di Banjar Bun, Denpasar, Rabu (15/1) malam. (BP/eka)

Pengadeg tari Sanghyang Jaran generasi pertama tercatat sejumlah pragina di antaranya Mangku Wayan Gerda, Ketut Rintug, Mangku Ruda dan Mangku Ketut Jambot. Sebagai pemangku Tari Sanghyang Jaran pada generasi pertama adalah Jro Mangku Made Ampug.

Pengadeg generasi kedua, tercatat sejumlah pragina yaitu Wayan Winda, Wayan Badra, Nyoman Warta, dan Wayan Puger. Pemangkunya, Jro Mangku Ketut Jambot.

Pengadeg generasi ketiga tercatat nama Made Mantra, Nyoman Lembut Ardana, Made Dana, Nyoman Seronca, Nyoman Suarta, Made Pujawan, Wayan Sudira dan Nyoman Weda. Pemangkunya, Jro Mangku Ketut Jambot.

Pengadeg generasi keempat tahun 1995, tercatat nama penari di antaranya Made Antara, Putu Tutik Wirastuti, Wiwin Setiari, Putu Yuniari, Luh Evayanti, Agus Jaya Adiputra, Nyoman Sumantara, Ketut Purnawata, Gede Suwirta dan Anan Raditya dan Nyoman Tri Laksana. Pemangkunya, Jro Mangku Ketut Parka.

Tahun 2020 ini, penari Sanghyang Jaran Banjar Bun memasuki generasi kelima. Prosesinya diawali sejak 4 Oktober 2019 dengan sejumlah rangkaian acara, seperti matur piuning, guru piduka di Merajan Jro Mangku Selonog dan ngadegin pragina melalui prosesi nyanjan pada 2 Desember 2019. ‘’Bertepatan dengan rahinan Buda Kliwon Gumbreg, 15 Januari 2020, digelar Karya Nangunang Ida Ratu Pragina Sanghyang Jaran Banjar Bun,’’ ujar Jro Mangku Sugiana yang pegawai Pemkab Badung tersebut.

Baca juga:  Ini, Syarat dan Lokasi Pemberlakuan Ganjil Genap di Denpasar-Badung

Pada generasi kelima ini, ada sejumlah orang terpilih jadi pragina melalui prosesi nyanjan. Pragina termuda berusia kelas IV SD, dan tertua seorang mahasiswa. Penarinya laki-laki dan perempuan. Mereka di antaranya I Gede Krisna Putra Antara, I Made Satria Purnama, Ni Luh Nyoman Puspita Wardani, I Gede Dodi Putra Natih, Gede Gangga, Komang Isa, dll. Pemangkunya, Jro Mangku Nyoman Antara.

Dikatakan, tarian ini sedikit berbeda dengan tari Sanghyang Jaran di daerah lain, terutama dalam pemakaian sarana api. Jika di daerah lain, sarana yang digunakan pada saat menari adalah api serabut kelapa, sedangkan di Banjar Bun justru bara api dari batok kelapa. Batok kelapa dibakar, kemudian diletakkan di atas dulang tanah lihat.

Dihubungi usai pentas, Gde Gangga, salah satu penari, mengakui tak merasakan apa-apa saat menginjak bara api. Saat menari dalam keadaan trance, ia mengaku tidak ingat apa-apa.

Siswa SMPN 1 Denpasar ini sangat setuju tari Sanghyang Jaran Banjar Bun dilestarikan. Dipilih sebagai penari oleh sesuhunan, dijalani dengan ikhlas. (Subrata/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *