BANGLI, BALIPOST.com – Keberadan krematorium di Bali beberapa tahun ini marak keberadaannya. Bernaung di bawah yayasan, keberadaan krematorium bernafaskan Hindu ini mulai menjadi pilihan alternatif masyarakat Bali dalam melaksanakan upacara ngaben.
Hal ini pun masih menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Bagi sebagian masyarakat keberadaannya di nilai membantu meringankan beban masyarakat, terlebih kondisi ekonomi saat ini.
Di sisi lain, ngaben di krematorium dinilai sebagai alat perusak tatanan masyarakat adat yang selama ini diwarisi turun temurun. Krematorium juga dinilai antara sebuah bisnis, dan juga sebagai upaya mapitulung bagi krama adat yang tersandung kekeran adat di desanya.
Data yang dihimpun, tempat kremasi yang banyak digunakan masyarakat diantaranya, Kremasi beralamat di Cekomaria, Kremasi Mumbul, Kremasi Punduk Dawa, dan kini di Kremasi di Desa Bebalang, yang baru berdiri September 2019.
Kelian Adat Banjar Bebelang, Bangli, I Nyoman Karsana, yang juga sebagai salah satu pengelola krematorium di bawah Yayasan Sagraha Mandra Kantha Santhi, mengatakan bahwa krematorium yang dikelolanya ini tidak semata-mata mencari untung. Dalam menerima masyarakat yang datang hendak ngaben di tempat kremasi, syarat pertama yang wajib dilengkapi adalah adanya rekomendasi dari prajuru desa.
Hal ini guna menghindari permasalahan yang muncul dalam upacara ngaben di tempatnya. Jika surat rekomendasi itu tidak ada, namun sepanjang ada penanggungjawaban, seperti MDA dan PHDI, baru bisa di kremasi di tempatnya, katanya Sabtu (18/1).
Dijelaskan, tempat krematorium yang dikelolanya tidak semata mencari keuntungan atau bisnis. Pihaknya sendiri pernah sebanyak empat kali, sejak berdiri lima bulan lalu mengabenkan secara gratis empat orang yang kurang mampu.
“Konsep kami lebih mapitulung, membantu masyarakat yang memang tidak mampu, meringankan bagi yang punya masalah terutama yang dihadapkan pada kekeran adat karena ada karya ditempatnya. Kita malah memecahkan dan memberikan solusi atas permasalahan yang ada,” katanya.
Terkait konsep upacara, digunakan sistem Nista, Madia dan utama. Hal ini tergantung dari permintaan yang mempunyai upacara.
Upacara dan pendirian tempat ngaben (krematorium) ini dilandasi oleh lontar maupun sastra, bukan mula keto. Hingga lima bulan membuka jasa ngaben kremasi, sudah ada 119 orang yang melangsungkan upacara krematorium yang didirikan bersinergi dengan desa adat Bebelang. “Setiap pelaksanaan kremasi, desa adat mendapatkan retribusi dari yayasan senilai Rp 1 Juta,” katanya. (Agung Dharmada/Balipost)