DENPASAR, BALIPOST.com – Selama ini lontar dipahami khalayak umum berkaitan dengan aspek niskala, seperti mantra, pengobatan dengan ilmu gaib dan sebagainya. Tetapi sesungguhnya isi lontar sangat relevan dengan urusan kekinian dan masa depan berkaitan dengan ketangguhan pangan, bercocok tanam dan menjaga lingkungan.
Lontar juga berkaitan dengan aspek sekala yang justru memperkuat aspek niskala. Misalnya, dengan menanam tumbuhan, ekologi menjadi lebih baik, lebih asri, lebih sejuk dan oksigen tersedia berlimpah.
“Lontar Usada, misalnya, sesungguhnya bukan hanya lontar pengobatan, tapi lontar yang merumuskan tanaman apa saja yang berguna untuk menjamin kesehatan dan sekaligus menyokong pangan harian yang menjadi penopang berjalannya kehidupan sehari-hari, baik dalam keadaan tanpa penyakit dan saat perlu pengobatan herbal atau usada,” ujar Sugi Lanus, peneliti dan pembaca lontar, Sabtu (18/1).
Lontar Usada yang memuat daftar tumbuhan adalah pusaka bersama yang perlu dibuka untuk dirumuskan dan dibudidayakan agar kita mampu memperkuat diri dari serbuan berbagai makanan yang kebanyakan tidak sehat. Jika ingin mengukuhkan kesehatan lahir batin masyarakat Bali, ketahanan pangan keluarga, maka pustaka Lontar Usada dirujuk sebagai panduan bersama dalam memperkuat ketahanan pangan.
Menurut Sugi Lanus, Lontar Usada bukan lontar klenik. Leluhur kita mewariskan lontar-lontar sebagai panduan menghadapi kehidupan nyata yang penuh tantangan, baik akibat kita lalai merawat diri, atau memang abai membiarkan sesuatu yang tidak organik yang berasal dari luar bumi pertiwi kita konsumsi secara serampangan.
Sugi Lanus yang kurator Museum Lontar Karangasem ini menegaskan, ancaman Bali hari ini memang bukan kelaparan. Tetapi yang dikonsumsi harian oleh anak-anak di Bali sudah jauh apa yang semestinya dihasilkan secara swadaya dari Pulau Bali.
Celakanya, hampir sebagian besar makanan kudapan ringan yang dijual di gerai makanan, tidak hasil dari tanah Bali dan kurang sehat, karena ditengarai berisi penyedap, pewarna dan pengawet. Lontar Usada bukan hanya tabel mempersehat diri ketika sakit, tetapi tabel pohon dan tumbuhan yang harus kita tanam untuk penguatan swasembada pangan atau lumbung pangan bagi keluarga kita.
“Jadi, lontar berisi hal-hal yang berkaitan dengan aspek sekala untuk menggarap hal-hal yang real saat ini. Misalnya Lontar Usada, berhubungan dengan pengobatan tradisional dengan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan untuk meringankan sakit sehari-hari seperti sakit perut, flu, batuk, sakit mata, diare, bibir pecah-pecah dan sebagainya,” ujarnya.
Dalam Lontar Usada Sari, misalnya, terdapat 90 jenis tanaman yang bisa digunakan untuk mengobati sakit. Demikian juga Lontar Taru Premana, setidaknya ada 200 tanaman dipakai pengobatan, baik dengan cara direbus, dipakai boreh, loloh, dan dipakai pupuk di ubun-ubun dan dijadikan bahan makanan.
Seperti berbagai jenis umbi-umbian atau rempah-rempah yang dipakai bumbu. Bali mengenal basa genep dalam kuliner. Di Jawa dikenal dengan jamu yang bahannya hampir sama. Kita memiliki tanaman herbal yang bermanfaat bagi kesehatan. Tinggal sekarang pihak farmakologi melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kandungannya dan mengemasnya agar lebih baik dan higienis.
Tegas Sugi Lanus, lontar yang kita miliki ini mesti dibuka, dibaca dan dipahami isinya, untuk pemperkuat ketangguhan pangan dan pengobatan kita. “Jadikanlah lontar untuk memperkuat penalaran dengan logika. Memperkuat ketahanan pangan dan kesehatan dan meningkatkan nilai-nilai budi pakerti atau kebajikan. Peninggalan tertulis ini hendaknya dirayakan untuk mengingatkan kita akan nilai-nilai kearifan lokal yang bermanfaat untuk kehidupan,” ujar Sugi Lanus, pendiri Hanacaraka Institute (2006), untuk meneliti lontar Bali dan Lombok. (Subrata/balipost)