Oleh Ribut Lupiyanto

Kekeringan dan banjir bagaikan dua sisi mata uang. Keduanya merupakan bencana hidrometeorologi yang datang silih berganti dan saling berkaitan. Penghujan identik banjir dan kemarau rentan kekeringan. Awal tahun 2020 ini langsung disambut dengan duka akibat bencana banjir di Jabodetabek.

BMKG memprediksi bahwa saat ini baru memasuki musim penghujan. Puncak hujan sendiri diperkirakan BMKG masih pada pertengahan Januari sampai Maret. Awal penghujan umumnya terjadi cuaca ekstrem, tetapi di Jabodetabek langsung dengan curah hujan tinggi.

Bahkan, masih menurut data BMKG, curah hujan pada hari Rabu (1/1) di Jakarta tertinggi sejak tahun 1996. Jika tanggap darurat dan mitigasi tidak segera dilakukan maka dapat diperkirakan bencana yang berdampak lebih besar akan kembali terjadi saat puncak musim penghujan nanti. Prediksi ini patut diperhatikan dengan meningkatkan literasi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir.

 

Indonesia berdasarkan data BNPB didera 3.803 bencana selama tahun 2019. Sebagian besar bencana tersebut adalah bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang terkait cuaca dan iklim yang ekstrem. Jenis bencana hidrometeorologi meliputi puting beliung, kebakaran hutan, banjir, longsor dan kekeringan.

Sebanyak 478 orang meninggal dunia dan 6,1 juta jiwa menderita dan mengungsi akibat bencana ini. Selain dipicu oleh perubahan iklim di tingkat global, buruknya tata kelola lingkungan, alih guna lahan, deforestasi, degradasi lahan di tingkat lokal dan nasional turut andil memperparah bencana ini.

Baca juga:  Hampir 200 Hari Belum Turun Hujan, 4 Kabupaten Ini Kekeringan

Bencana yang paling banyak menyebabkan korban jiwa, antara lain banjir dan longsor di 10 kabupaten atau kota di kawasan Sulawesi Selatan pada 22 Januari 2019. Peristiwa ini menyebabkan 82 orang meninggal, tiga orang hilang dan 47 orang luka.

Banjir dan longsor di Sentani, Jayapura pada 16 Maret 2019 juga memakan banyak korban jiwa. Bencana ini menyebabkan 112 orang meninggal, 7 orang hilang, dan 965 orang luka. Selanjutnya banjir dan longsor di Bengkulu pada sembilan kabupaten/kota pada 27 April 2019, dampaknya 24 orang meninggal, empat orang hilang, dan empat orang luka.

Angka di atas menunjukkan kenaikan sebesar 15,4 persen dibandingkan bencana pada 2018. Pada tahun lalu tercatat terjadi 1.774 bencana. Jumlah korban meninggal dan hilang pada tahun lalu sebanyak 181 orang, sedangkan tahun ini 390 orang. Jumlah korban luka-luka 503 orang, yang mengungsi 2.149.886 jiwa dan rumah rusak mencapai 26.969 unit.

Global Assessment Report (2011) memperkirakan bahwa kerugian akibat bencana rata-rata mencapai 1% dari PDRB per tahun. Kerugian dunia akibat kejadian bencana sejak tahun 2003 hingga 2012 ditaksir lebih dari 2,7 triliun dolar Amerika. Untuk Indonesia, dampak fiskal bencana secara nasional memang masih tergolong kecil.

Baca juga:  Filsafat sebagai Landasan Hukum

Bencana terdahsyat tsunami Aceh tahun 2004 misalnya memiliki kerugian setara 0,3% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia. Persentase tersebut akan terasa besar di tingkat daerah yaitu mencapai 45% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh.

Hampir 90 persen sumber dana penanggulangan bencana dari pemerintah pusat, padahal pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana bencana sekitar Rp4 triliun per tahun. Implikasi ini akan semakin besar dan kompleks jika dikaji terhadap sektor industri serta perdagangan dan jasa. Bencana tahunan seperti banjir juga menjadi faktor penghambat bagi datangnya investasi.

Bencana antropogenik tahunan besar dan merata secara nasional adalah bencana hidrometeorologi. BNPB melaporkan bahwa sejak 1915 atau sekitar 100 tahun terakhir bencana hidrometeorologi mendominasi kejadian bencana alam.

Literasi Mitigasi

Bencana antropogenik terjadi akibat kelakuan manusia merusak keseimbangan lingkungan. Konsekuensi demi meminimalisasi bencana antropogenik adalah mengimplementasikan manajemen lingkungan secara terpadu. Keterpaduan yang dibutuhkan andalah antarsektor, antarpihak, dan antarwilayah. Pemimpin bertanggung jawab menjadi fasilitator upaya ini.

Pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif mesti memiliki komitmen politik hijau. Pemimpin yang baru hasil pilkada nanti wajib kiranya melek ekologi dan mengarusutamakan lingkungan demi pembangunan berkelanjutan. Legislator baru juga penting peduli agenda lingkungan yang dibuktikan dengan produk legislasi dan penganggaran yang pro-lingkungan. Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan lingkungan yang ujungnya menyebabkan datangnya bencana.

Baca juga:  Dominasi Kapital Budaya dalam Pelestarian Arsitektur Pura

Sektor swasta perlu tanggap terhadap kebutuhan lingkungan. Program sosial atau CSR dapat didayagunakan untuk pemberdayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan. Izin lingkungan juga harus dipenuhi sejak awal hingga melaksanakan rekomendasi pengelolaan lingkungannya. Masyarakat dituntut peka dan tanggap terhadap dinamika lingkungan.

Hasil survei Program Climate Asia (2013) mengungkapkan bahwa informasi perubahan iklim masih kurang di kalangan warga Indonesia. Hanya 19 persen masyarakat yang mendengarkan prakiraan cuaca serta 11 persen yang memiliki persiapan bencana. Kondisi ini menuntut upaya ekstra kaitannya dengan penyebaran informasi dan pelaksanaan edukasi.

Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi kunci minimalisasi bencana antropogenik.

Seluruh warga saatnya diajak berpartisipasi demi mengurangi risiko bencana akibat ulah manusia. Tantangan penanggulangan bencana yang semakin rumit membutuhkan keberadaan personel yang kompeten. Tugas kemanusiaan sekaligus beban finansial akan terkurangi melalui optimalisasi mitigasi dan pengurangan risiko bencana secara terpadu dan berkelanjutan.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *