DENPASAR, BALIPOST.com – Hari suci Siwaratri hadir setiap setahun sekali, yaitu pada Purwanining tilem sasih kepitu. Siwaratri dilakukan pada malam yang paling gelap dalam kurun waktu satu tahun ini merupakan hari suci yang sangat ditunggu-tunggu oleh para Bhakta Siwa (penganut Siwa Sidhanta).
Sekilas di masyarakat masih banyak yang salah kaprah menganggap hari ini sebagai hari untuk menghapuskan dosa. Padahal, menurut Dosen Filsafat Unhi Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag.,M.Pd.H., Dewa Siwa di dalam Tri Murti adalah dewa dengan fungsi sebagai pelebur segala yang sudah tidak diperlukan lagi di alam ini.
Hal ini memiliki kesamaan bahwa penghormatan kepada-Nya sesungguhnya adalah pemujaan untuk memohon kasih sayang-Nya dengan melakukan beberapa brata yang pada akhirnya kita mampu melebur segala perbuatan buruk kita dengan perbuatan yang mulia, yaitu dengan melakukan brata Siwaratri.
Dijelaskan, di dalam beberapa kitab maupun lontar bahwa dengan brata Siwaratri akan mampu menjadikan orang yang papa hina bisa menyatu dengan Siwa di Siwaloka. Sosok Lubdaka adalah salah satu dari beberapa tokoh di dalam sastra yang dikatakan mampu melebur segala dosa yang diperbuatnya dengan melakukan brata Siwaratri. “Lubdaka adalah seorang pemburu hewan dalam bahasa Sanskerta disebut Pasu. Pemburu hewan sama halnya dengan memburu segala bentuk pasu, termasuk pasupati atau raja dari para hewan yaitu Sang Hyang Siwa itu sendiri,” ujar Kadek Satria.
Dikatakan, setelah Lubdhaka kemalaman di tengah hutan, maka ia mencari pohon yang dibawahnya ada telaga, sebagai siasat kemungkinan ada hewan buruan yang hendak didapat. Ini memberikan makna bahwa manusia di dalam kegelapannya melakukan aktivitas kehidupan, maka hal yang pasti dan harus dilakukan adalah melakukan pendakian (memanjat pohon kebijaksanaan, Pohon Bilwa.
Melakukan upaya agar selalu sadar dengan memetik daun Bilwa dan menjatuhkannya ke telaga yang secara kebetulan disana ada lingga Siiwa. “Hal yang perlu disadari bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua orang akan mendapatkan pencerahan dimanapun aktifitasnya atau dimana saja Tuhan telah menjangkau segalanya. Inilah yang perlu kita pahai sebagai bentuk usaha agar kita mampu menjadi lubdaka-lubdaka yang memburu kesempurnaan itu,” tandasnya.
Lebih lanjut dikatakan, prosesi pelaksanaan Brata Siwaratri adalah dengan melakukan Jagra (tidak tidur semalam suntuk, 36 jam), Upawasa (kembali Suci, tidak makan selama 24 jam) dan melakukan pemujaan yang tiada hentinya dengan melakukan dhyana atau meditasi selama 24 jam. Dipercaya dengan melakukan inilah akan mampu melebur segala dosa-dosa yang kita lakukan.
Setelah melakukan pemujaan Sore hari pada pukul 06.00 dengan memuja Dewi gangga dan ganapati, dilanjutkan dengan tengah malam 12.00 dengan memuja Giri Putri, dan terakhir pada pagi hari yaitu saat Brahmamuhurta puja pukul 03.00-05.00 lengkap dengan melebur Siwalingga yang sudah dibuat sebagai stana dari beliau. Peleburan dari Siwalingga inilah yang akan menghasilkan Bhasma (Abu) yang kemudian ditunas untuk digunakan sebagai anugerah peleburan dengan menguapkan dalam tubuh atau digunakan sebagai pelengkap bija.
Sebab Bhasma merupakan alat penyucian yang paling utama. “Inilah yang memberikan makna bahwa malam Siwaratri bukanlah malam penghapusan dosa, namun malam dimana kita diberikan kesempatan untuk melebur dosa kita dengan cara melakukan brata Siwaratri yang sangat utama. Bukan berarti setelah itu kita melakukan dosa lagi, sehingga dapat kita lebur dengan siwaratri selanjutnya, namun Brata siwaratri yang memiliki makna sebagai upaya penyadaran akan hidup, penyadaran akan pemujaan tuhan dan selalu bersyukur atas karunianya merupakan hal sehari-har yang bisa kita lakukan,” tukasnya.
Kendati demikian, bukan hanya pada hari siwaratri, namun setiap hari pemaknaan ini bisa dilakukan, tentu dengan kesadaran. Sebab, Brata Siwaratri bukan sejauh mana kita mampu melakukan brata, namun sebesar apa kesungguhan dan ketulusan kita dalam melakukannya. (Winatha/balipost)