Salah satu fast boat rute ke Nusa Penida saat menurunkan wisatawan. (BP/dok)

Oleh K. Swabawa, CHA.

Pariwisata Bali selalu menarik untuk diwacanakan dari berbagai perspektif. Di tengah wacana persaingan antardestinasi, baik nasional, regional maupun internasional, Bali tentunya butuh tindakan yang mampu untuk menguatkan identitas yang dimiliki yakni pariwisata budaya, seni dan alam.

Adanya pembangunan objek wisata, infrastruktur serta sarana kepariwisataan baru belakangan ini tentunya adalah sebagai pelengkap fasilitas pendukung bagi turis yang berkunjung ke Bali. Namun jika ditelusuri lebih dalam dan untuk keberlanjutan jangka panjang, hal ini patut diantisipasi agar tidak mengubah konsep kepariwisataan di Bali secara fundamental.

Sebagaimana teori Prof W. Butler menyebutkan bahwa ‘’…tourism destinations carry with them the seeds of their own destruction. The trick is to manage tourism destinations so that they do not self-destruct…’’ (destinasi pariwisata membawa penyebab kehancurannya sendiri dan cara mengantisipasinya adalah dengan mengelola destinasi secara baik sehingga tidak rusak dengan sendirinya).

Merujuk pada pernyataan tersebut, adalah langkah yang sangat tepat di mana saat ini Pemerintah Provinsi Bali tengah menggodok Ranpergub tentang Pengelolaan/Tata Kelola Penyelenggaraan Usaha Kepariwisataan. Peraturan ini diharapkan dapat memberikan suatu harapan besar bagi masyarakat Bali khususnya terkait eksistensi Bali sebagai tempat tinggal bagi warganya yang memegang teguh adat, tradisi dan budaya.

Kebutuhan akan pemenuhan hal-hal bersifat ekonomi dapat dipengaruhi secara masif akibat hegemoni budaya bahwa bisnis yang besar akan menghasilkan yang besar pula. Sayangnya Bali adalah pulau kecil jika diserbu terus oleh ‘’pemilik uang’’ berinvestasi sebanyak-banyaknya maka kondisi geografis pasti akan terganggu.

Baca juga:  Retribusi di Kintamani, Penelokan Didukung Jadi Jalur Khusus Pariwisata

Gangguan ini tidak akan berakhir sampai di sana, melainkan berlanjut pada demografis, socio culture dan terakhir psikografis. Logikanya, ruang terbuka hijau (termasuk persawahan dan lingkungan alam yang menjadi salah satu unggulan utama pariwisata Bali) akan berkurang, selanjutnya menimbulkan kepadatan manusia semakin tinggi, jalan semakin macet serta polusi udara meningkat, bukan tidak mungkin tingkat kesehatan lingkungan juga menjadi ancaman bagi masyarakat.

Bukan tidak mungkin juga hal tersebut akan memicu terjadinya degradasi budaya dan tradisi karena konsentrasi manusia lebih kepada pemenuhan kebutuhan hidup, bahkan karena persaingan yang ketat berpacu dengan waktu atau kesempatan manusia bisa mengurangi aktivitas tradisinya akibat kekurangan waktu?

Kemudian dari sisi piskografis maksudnya adalah timbulnya rasa ketidaknyamanan wisatawan berlibur di Bali akibat situasi di atas, maka bukan tidak mungkin pula misalnya nanti mereka berpikir ‘’where’s Bali the island of Gods? The last paradise?’’

Kembali kepada penjelasan Prof. Butler di atas, masyarakat Bali sudah saatnya menyadari bahwa itu saat ini tengah berjalan pelan-pelan, bahkan sejak beberapa tahun lalu. Wisatawan membutuhkan jasa transportasi selama berlibur, akhirnya sampai saat ini kita lihat banyak label usaha transportasi baik konvensional (resmi atau tidak resmi) dan juga dengan jalus daring (dalam jaringan – online).

Hotel virtual operator (HVO) yang beroperasi bersaing keras dengan online travel agent (OTA) dan pengelola hotel sendiri. Hasil dari kedua contoh di atas di industri pariwisata adalah: 1) Persaingan harga menyebutkan suasana tidak sehat dan kadang keributan; 2) Penurunan kualitas akibat bersaing untuk memberi harga terrendah; 3) Kemacetan akibat jumlah kendaraan yang berlebihan (begitu banyaknya armada yang beroperasi tetapi tidak semua driver mendapat order yang maksimal); dan lainnya.

Baca juga:  Politik Bahasa

Iklim bisnis yang tidak sehat, degradasi kualitas dan kemacetan merupakan indikasi ‘’rusaknya’’ suatu destinasi. Bayangkan jika ini dibiarkan bergulir terus-menerus maka pelan namun pasti wisatawan tidak akan ada yang mau datang ke Bali lagi.

Dan yang rugi bukan hanya kalangan pariwisata saja, sektor perdagangan lumpuh karena transaksi berkurang, pendidikan menurun karena kebutuhan tenaga kerja berkurang dan masyarakat tidak cukup pendapatan untuk membiaya pendidikan lebih tinggi, perbankan juga mendapatkan dampaknya juga akibat menurunnya transaksi di industri, dan terpenting pula pembangunan daerah dan bantuan masyarakat dari pemerintah juga terpengaruh karena sumber pendapatan asli daerah (PAD) mengalami penurunan.

Yang menarik pula untuk diperhatikan adalah edukasi ke masyarakat agar lebih menyentuh lapisan terbawah terkait peluang, manfaat, kendala dan dampak dalam berbisnis. Usaha kecil dan mikro ini jumlahnya sangat besar dan sudah mulai dijadikan lahan kartel bagi pemain besar, contoh yang sangat hangat belakangan ini adalah dimasukkannya usaha rumah kos ke dalam bisnis sewa kamar layaknya hotel oleh para pemain bisnis online.

Dari segi profesi juga hal ini sering kita jumpai, misalnya seorang guide yang menjelaskan bahwa Pura Uluwatu dibuat pada zaman Kerajaan Pandawa, atau salah satu pura di kawasan Batuan disebut sebagai pura terbesar di Bali. Ini contoh masih lemahnya profesionalisme bagi sebagian SDM atau lebih tepat sebagai oknum di bidang pemandu wisata yang merusak citra Bali.

Baca juga:  Literasi Pemanasan Global

Kita semua berharap semoga Ranpergub Tata Kelola Usaha Kepariwisataan segera disahkan dan berlaku untuk menjaga destinasi Bali agar semakin berkualitas dan berkelanjutan berbasis kerakyatan dan pelestarian budaya Bali. Dan harus menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menaati dan menerapkannya dalam segala bentuk usaha kepariwisataan menyangkut standardisasi produk, usaha, tenaga kerja, harga, kualitas serta tanggung jawab sosial dalam menjaga alam serta budaya Bali.

Secara tidak langsung apa yang menjadi pertanyaan banyak pihak: apakah kita menargetkan kualitas atau kuantitas? akan mudah dijawab dan dimengerti. Bahwa dengan standardisasi sebagaimana diatur dalam ranpergub maka jumlah kunjungan wisatawan akan semakin bertambah banyak dengan turis berkualitas juga seiring dengan penyediaan produk dan jasa kepariwisataan yang berkualitas tinggi.

Tentunya penegakan hukum atas penerapan Pergub tentang Tata Kelola Usaha Kepariwisataan ini sangat dibutuhkan agar spirit ‘’Nangun Sat Kertih Lokha Bali’’ benar-benar membumi sebagai semangat membangun dan mewujudkan Bali Era Baru dalam menjaga keharmonisan dan kesucian alam Bali yang meliputi: wana kertih, segara kertih, danu kertih, jana kertih, atma kertih dan jagat kertih.

Penulis adalah akademisi dan praktisi bidang kepariwisataan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *