SINGARAJA, BALIPOST.com – Brahamavihara Arama di Desa/Kecamatan Banjar tergolong vihara tua. Ini karena vihara di Banjar Dinas Tegeha berdiri pertama kali di Bali setelah masa Kemerdekaan RI.

Sebagai vihara terlahir pada masa kemerdekaan, vihara ini diklaim sebagai simbol cikal bakal toleransi dan prularisme di tanah air khususnya Bali. Brahamavihara Arama ini dibangun oleh Ida Ketut Jelantik yang dikenal sebagai sastrawan yang bertugas di Kementerian Agama.

Dia menyukai meditasi hingga membentuk kelompok kebatinan di desanya. Tahun 1956 ia diundang ke Watugong, Semarang, untuk menghadiri acara Buddha Jayanti yang merupakan acara kebatinan dan spiritual.

Baca juga:  Santutthicitta Digelar di Borobudur

Saat itu Ida Ketut Jelantik berhalangan hadir hingga diutus keponakannya Ida Bagus Giri. Yang tak lain adalah ayah Ida Bagus Rahoela, mantan Kabag Humas dan Protokol Pemkot Denpasar.

Setelah mengikuti Buddha Jayanti itu, Ida Bagus Giri mendalami ajaran Buddha yang disebut cocok dengan historis leluhur di Bali dengan memakai metode meditasi hening. Hingga akhirnya sekitar tahun 1958 kelompok kebatinan yang dipimpin Ida Bagus Giri melangsungkan meditasi bersama di sekitar objek wisata Air Panas Banjar.

Baca juga:  Kondisi Bayi dalam Kardus Stabil, Pembuangnya Masih Diselidiki

Namun pada tahun 1969, karena anggota kelompok semakin banyak dan tempat yang tersedia makin kecil, akhirnya dipindah ke Banjar Tegehe yang sekarang tempat vihara saat ini. Lokasi vihara dipilih oleh Ida Ketut Jelantik karena memenuhi persyaratan pembangunan tempat meditasi.

Awalnya pembangunan Brahmaviraha Arama Banjar berdiri di atas lahan seluas 30 are. Hanya ada beberapa bangunan pemujaan utama, aula meditasi dan taman lengkap dengan patung Sang Buddha.

Vihara terus dikembangkan dan diresmikan pada tahun 1971 silam luasnya sekarang sekitar 9 hektare. Di atas tanah ini dibangun pagoda, darma sala, kuti, aula meditasi, lonceng, bangunan pendukung lain.

Baca juga:  Pangusadha Bali Dalam Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali

Ketua Yayasan Giri Rakito Mahatera, Ida Bagus Rahoela, Sabtu (25/1), mengatakan sesuai warisan yang diteruskannya, vihara ini tidak saja untuk persembahyangan Umat Buddha. Sebab, pendirinya memberi kebebasan kepada siapapun yang akan mencari kedamaian dan mendapat pencerahan batin dipersilahkan menggunakan fasilitas di vihara.

Tidak heran, vihara ini dikunjungi oleh semua agama atau aliran kepercayaan. Dengan kondisi itu, vihara ini dikenal sebagai cikal bakal budaya toleransi dan nilai-nilai pluralisme. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *