MANGUPURA, BALIPOST.com – “Kaki-kaki, i dadong dija ? I dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor nged, nged, nged, buin selae lemeng Galungan, apang mebuah nged”, hal tersebut kerap diucapkan umat Hindu di Bali pada pohon atau tanaman berbuah yang dimilikinya saat Tumpek Wariga. Pengucapan kalimat tersebut dilakukan saat menghaturkan sesaji pada pohon yang kemudian menggetarkannya atau memukul pohon itu dengan batu. Hal tersebut diterangkan I Ketut Suwena, seorang petani di Buduk, Badung, Sabtu (25/1).
Menurutnya, ritual pada Tumpek Wariga atau yang sering disebut Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh tersebut merupakan perayaan untuk pemujaan dewa penguasa kesuburan. Tumpek Wariga dirayakan tiap enam bulan dalam perhitungan kalender Bali, yakni pada wuku Wariga, Saniscara, Kliwon.
Sekitar 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Oleh karena itu Tumpek Wariga juga disebut dengan Tumpek Pengarah atupun Tumpek Pengatag. “Pada ritual yang dilakukan saat Tumpek Uduh, disini untuk memberitahu pohon buah agar berbuah lebat. Karena lagi 25 hari akan Galungan,” kata Suwena.
Pensiunan pegawai dinas pertanian Kabupaten Badung ini menambahkan, bahwa pohon yang diupacarai saat Tumpek Uduh biasanya pohon kelapa atau tumbuhan buah-buahan. Dengan ritual tersebut diharapkan tanaman berbuah seperti kelapa dan lainnya dapat berbuah dengan lebat menjelang Hari Raya Galungan. “Dengan ritual ini diharapkan pohon buah dapat berbuah dengan banyak, supaya buahnya tersebut dapat dipakai me-Galungan,” tambah Suwena sambil bergurau. (Eka Adhiyasa/balipost)