Jelajah situs peninggalan Kerajaan Airlangga dan Singosari akan diawali dari Candi Jawi. (BP/ist)

Barangkali perkembangan ekonomi dan politik kita di Indonesia demikian tidak bisa diduga. Atau mungkin juga tidak dapat diikuti sehingga melahirkan hal-hal yang aneh. Secara ekonomi, di Indonesia sudah banyak orang mampu, terutama di kota-kota.

Banyak mereka yang sebelumnya termasuk golongan tidak mampu, tiba-tiba saja mempunyai modal besar, atau setidaknya bermobil. Dengan kemampuan digital seperti sekarang, siapa pun dapat cepat kaya. Tetapi, perkembangan persaingan juga tinggi. Mereka yang mengecap kesuksesan di masa lalu, tiba-tiba saja bangkrut.

Demikian juga kita lihat di bidang politik. Praktik politik kita yang disebut demokrasi itu memunculkan orang-orang yang tidak terduga. Di akar rumput, mereka yang sebelumnya berandalan bahkan pendidikannya tidak beres, tiba-tiba muncul menjadi anggota legislatif.

Dan bayangkan mereka inilah yang memproduksi aturan hukum tersebut. Betapapun ada tim ahlinya, tetap mereka ini yang mempunyai pengaruh. Dalam perjalanannya, banyak politisi yang kemudian jatuh, entah karena korupsi atau kalah saing. Termasuk yang berandalan itu dan kemudian digantikan oleh mereka yang juga berandalan.

Baca juga:  Hadirkan 7 Kerajaan di Indonesia, TIF II Angkat Tema Bhineka Tunggal Ika

Maka, bukan tidak mungkin hal-hal inilah yang kemudian memunculkan hal-hal aneh di masyarakat. Ibarat komponen sistem yang pasti berpengaruh kepada komponen yang lain. Kita terkejut, ketika seorang politisi tiba-tiba beralih menjadi begitu dekat dengan hal yang berhubungan dengan Ketuhanan, sering mengunjungi situs suci, atau malah kemudian beralih jadi pendeta.

Tidak lepas juga mereka yang sebelumnya berjaya di bidang ekonomi, bangkrut dan kemudian beralih menjadi orang yang begitu dekat dengan Tuhan. Mengatakan sebagai sebuah pelarian, mungkin kita salah. Tetapi mungkin di dalamnya ada semacam bentuk kesadaran atau mungkin pengampunan.

Baca juga:  Dipikul Bersama

Dalam konteks itulah kita juga mencoba melihat adanya kelompok-kelompok orang yang masih mengaku-aku diri menjadi raja atau membentuk kerajaan tersendiri dengan memberikan janji-janji palsu kepada masyarakat.  Kelihatan di sini, orang kebingungan. Di republik yang sudah merdeka dan penuh dengan adegan demokrasi ini, masih tetap ada yang mencoba mengaitkan diri dengan kerajaan.

Mungkin ada yang merasa untung secara ekonomi, dan mungkin juga ada yang mendapatkan keuntungan secara politik. Tetapi keuntungan seperti itu didapatkan dengan cara menipu yang cepat atau lambat pasti akan terungkap. Seperti kita ketahui, fenomena yang terjadi di Jawa Tengah, ternyata kedok ‘’raja’’ itu adalah sebuah penipuan, dan bahkan bermotif ekonomi.

Baca juga:  Bukan Gerbong yang Bergerak ke Masa Lalu

Maka, masyarakat haruslah kita beri tahu bahwa status sosial, status ekonomi, bahkan status politik tidaklah semudah itu didapatkan. Artinya status sosial tidaklah akan berubah jika terjebak ke dalam sistem kerajaan palsu tersebut. Salah-salah terjebak dan kemudian mendapatkan malu sendiri. Status sosial akan didapat kalau kita benar-benar mengabdi kepada hidup, yaitu kepada pekerjaan yang wajar dan bersungguh-sungguh mengabdi kepada masyarakat, yaitu berinteraksi dengan baik.

Siapa pun yang mengaku-aku jadi raja, kita harapkan cepat sadar sesadar-sadarnya. Bahwa kedok seperti itu, cepat atau lambat akan ketahuan oleh masyarakat dan pasti akan membuat malu. Masyarakat juga akan menghukumnya secara sosial. Sadarlah kerajaan itu sudah masa lalu.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *