“Biarkanlah orang Bali meneruskan pola kehidupan pribumi mereka yang indah, bebas dari gangguan apapun. Pertanian mereka, kehidupan perdesaan mereka, aneka bentuk pemujaan, kesenian religius, dan kesusastraan mereka, semuanya itu menunjukkan suatu kebudayaan pribumi yang amat lentur dan kaya. Maka janganlah dibangun jalur kereta api di Bali. Jangan pula membuka perkebunan kopi Barat; dan terutama janganlah membuat pabrik gula….”
Demikian sepenggal tulisan G.P. Roufaer Direktur Bali Instituut di tahun 1930-an dikutip dari Buku Michel Picard ‘’Bali: Pariwisata Budaya, Budaya Pariwisata’’ (2006). Secara khusus Roufaer menyoroti tentang sarannya kepada pemerintah kolonial untuk jangan membangun jalur kereta api demi menjaga Bali sebagai permata langka.
Apa yang dilakukan Roufaer dengan Bali Instituut terkait program Baliseering (Balinisasi), sebuah program Kolonial Belanda sebagai bagian politik etis bertujuan mempertahankan Bali sebagai museum hidup (living museum). Kelanjutan warisan budaya Hindu Majapahit yang mulai punah akibat dari proses Islamisasi di Tanah Jawa pada abad ke-15.
Setelah hampir mendekati seabad saran jangan membangun jalur kereta api di Bali, kini Pemerintah Provinsi Bali hendak merealisasikannya. Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan akan dibangun jalur kereta Light Rail Transit (LRT) dari arah Kuta, kemudian Sanur, dan Mengwi ke Bandara Ngurah Rai terintegrasi bawah tanah.
Selain itu, akan dibangun kereta api utara-selatan lingkar Bali. ‘’Bisa di bawah (tanah), bisa di atas. Kita mau saingi Singapura,’’ jelasnya. (Nyoman Winata/balipost)
Bagaimanakah persoalan pembangunan rel kereta api bagi Bali? Ikuti ulasannya di Harian Bali Post, Rabu, 29 Januari 2020.