Aktivitas pekerja di Stasiun Light Rail Transit (LRT) Cibubur, Harjamukti, Depok, Minggu (13/10/2019). (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tulisan G.P. Roufaer, Direktur Bali Instituut tahun 1930-an dikutip dari Buku Michel Picard ‘’Bali: Pariwisata Budaya, Budaya Pariwisata’’ (2006) secara khusus menyoroti tentang larangannya kepada pemerintah kolonial untuk membangun jalur kereta api demi menjaga Bali sebagai permata langka. Apa yang dilakukan Roufaer dengan Bali Instituut terkait dengan program Baliseering (Balinisasi), sebuah program Kolonial Belanda sebagai bagian politik etis.

Tujuannya mempertahankan Bali sebagai museum hidup (living museum) dari kelanjutan warisan budaya Hindu Majapahit yang mulai punah akibat dari proses Islamisasi di tanah Jawa pada abad ke-15.

Baca juga:  Pencuri Sebatang Pohon Akasia Divonis Tiga Bulan 15 Hari 

Setelah hampir mendekati seabad saran jangan membangun jalur kereta api di Bali, kini Pemerintah Provinsi Bali hendak merealisasikannya. Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan akan dibangun jalur kereta Light Rail Transit (LRT) dari arah Kuta, kemudian Sanur, dan Mengwi ke Bandara Ngurah Rai terintegrasi bawah tanah.

Selain itu, akan dibangun kereta api utara-selatan lingkar Bali. “Bisa di bawah (tanah), bisa di atas. Kita mau saingi Singapura,” jelasnya.

Menurut pengamat tata ruang Dr. Nyoman Gede Maha Putra, kereta api sebagai sarana transportasi publik tidak cocok dengan budaya masyarakat Bali. “Struktur kehidupan masyarakat Bali berbeda dengan kehidupan masyarakat modern yang rigid dengan pembagian rumah-kantor-tempat rekreasi. Di Bali, aktivitas masyarakat lebih beragam. Kegiatan adat berlapis dengan kegiatan ekonomi dan kegiatan wisata. Lapis-lapis kegiatan ini membentuk jarak antarpusat aktivitas yang pendek-pendek,” kata dosen Fakultas Teknik Unwar ini.

Baca juga:  Di Atas 4.000 Orang, Tambahan Pasien COVID-19 Sembuh Nasional Lampaui Kasus Baru

Selain jarak, faktor waktu juga menjadi kunci. Masyarakat Bali tidak terbentuk untuk bekerja secara rigid dari jam 8 pagi sampai 5 sore. Di luar jangka waktu kedua titik tersebut ada banyak sekali aktivitas lain yang harus dilakukan.

Kegiatan adat, misalnya, dapat berlangsung sampai larut malam sejak dimulai dari subuh. Ini akan menjadi tantangan utama dalam penyediaan transportasi. Transportasi berbasis rel tidak sesuai dengan keadaan ini.

Baca juga:  Tabanan Genjot Perbaikan Jalan, Kategori Rusak Berat Hanya 10 Persen

Sementara itu, peneliti transportasi dari Unwar Ir. I Wayan Muliawan, M.T. mengingatkan perlunya kajian mendalam soal kereta api di Bali. ‘’Tanah Bali sangat sakral dan mahal. Jadi harus dikaji dengan baik dan benar agar dalam pelaksanaan dapat berjalan lancar,’’ kata Muliawan. (Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *