Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Djoko Subinarto

Proses perekrutan guru seyogianya mencangkup tes orientasi sosioseksual demi mengantisipasi sedini mungkin adanya kecenderungan perilaku-perilaku seksual yang menyimpang dari para calon guru yang dapat membahayakan para siswa. Pada saat yang sama, para orangtua dituntut agar lebih ekstra waspada dalam mengawasi anak-anak mereka demi untuk melindungi mereka dari para predator seksual, yang boleh jadi berada dekat di sekitar kita.

Survei Kekerasan Anak Indonesia yang dilakukan atas kerja sama antara Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), serta sejumlah lembaga, beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan seksual pada kelompok anak laki-laki dan perempuan di negeri ini sama-sama tinggi. Hasil survei tersebut menyimpulkan, kekerasan seksual sebelum umur 18 tahun yang dialami anak laki-laki sebesar 6,36 persen dan anak perempuan 6,28 persen.

Orang Terdekat

Pelecehan, pencabulan dan bahkan kekerasan seksual terhadap anak-anak bisa terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan yang tidak semestinya pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual itu terjadi. Ironinya, sebagian besar pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak justru dilakukan oleh orang-orang terdekat, atau minimal oleh orang-orang yang telah mereka kenal.

Salah satu kajian menyimpulkan bahwa satu dari empat anak perempuan dan satu dari enam anak laki-laki memiliki peluang untuk mengalami pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual sebelum usia mereka genap 18 tahun. Itu artinya, ancaman bagi anak-anak kita untuk menjadi korban para predator seksual selalu ada, di mana pun dan kapan pun.

Baca juga:  Pemkot Denpasar Tetap Berlakukan CFD di Renon

Sudah barang tentu, pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual yang dialami anak-anak bakal membawa dampak sangat merugikan bagi mereka. Bukan hanya dapat mengakibatkan turunnya kinerja akademik mereka yang menjadi korban, tetapi juga dapat mengakibatkan trauma dan ketidakseimbangan mental untuk jangka waktu yang panjang, bahkan bisa berlangsung seumur hidup. Yang lebih celaka jika pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual yang menimpa anak itu kemudian mengubah pandangan, orientasi dan perilaku seksual sang anak.

Pada sejumlah kasus, tidak jarang anak-anak yang menjadi korban pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual malah menjadi bahan viktimisasi pihak lainnya, baik itu pihak sekolah, kawan-kawan sekolah, masyarakat, penegak hukum dan juga media. Ibaratnya, mereka ini sudah jatuh harus tertimpa tangga pula. Di sisi lain, sejumlah pelaku pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual, karena kekuasaan dan kemampuan finansial yang dimilikinya, tidak jarang pula mendapat semacam pembelaan atau proteksi yang tidak semestinya.

Memperberat Hukuman

Agar kasus-kasus pelecehan, pencabulan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak kita dapat dihindari, selain memperberat hukuman bagi para pelaku, peningkatan peran dan fungsi keluarga serta sekolah dalam memberdayakan anak mutlak perlu dilakukan. Seperti kita maklumi, saat ini kian banyak orangtua yang lebih sibuk dengan urusan mereka sendiri sehingga kurang memberi porsi perhatian, pengasuhan dan pendidikan buat anak. Buntutnya, pertumbuhan, perkembangan dan pergaulan anak pun kurang/tidak terkontrol oleh orangtua. Pada kondisi seperti inilah anak menjadi sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, salah satunya yaitu para predator seksual yang sesungguhnya saat ini banyak bergentayangan di sekitar kita dan mengincar anak-anak kita.

Baca juga:  Dilema ‘’Social Commerce’’

Oleh karena itu, untuk menangkal agar tidak semakin banyak saja anak di negeri ini yang menjadi mangsa dan korban keganasan para predator seksual, para orangtua dituntut untuk lebih memberikan porsi perhatian, pengasuhan dan pendidikan kepada anak-anak mereka, sehingga anak-anak itu tumbuh dan berkembang, baik fisik dan jiwanya, dengan baik.

Pada saat yang sama, sekolah sebagai institusi pendidikan juga menjalankan peran dan fungsinya dengan baik sebagai tempat anak belajar mengenali, menyelami dan memecahkan persoalan-persoalan kehidupan nyata, dan bukan sebatas tempat anak belajar mengenali, menyelami dan memecahkan persoalan-persoalan teoretis di atas kertas.

Khusus terkait dengan upaya mengatasi kasus pencabulan, pelecehan maupun kekerasan seksual terhadap siswa-siswi yang mungkin saja dilakukan oleh oknum guru di sekolah, aturan tegas sekolah yang mengatur interaksi antara guru dan murid tampaknya wajib diberlakukan. Salah satunya adalah melarang adanya kontak guru-murid yang terkait dengan proses kegiatan belajar-mengajar dan urusan persekolahan di luar jam sekolah dan di luar lingkungan sekolah. Interaksi guru-siswa yang berhubungan dengan kegiatan belajar-mengajar dan aktivitas persekolahan sebaiknya hanya dilakukan pada saat jam sekolah dan dilakukan di lingkungan sekolah secara bersamaan.

Baca juga:  Belajar dari Punakawan

Selain itu, proses perekrutan guru juga sebaiknya diperketat dengan antara lain melakukan tes kejiwaan dan tes orientasi sosioseksual, sehingga dapat mengantisipasi sedini mungkin adanya kecenderungan perilaku-perilaku seksual yang menyimpang dari para calon guru.

Keluarga dan sekolah juga harus mampu menanamkan dan mendorong keberanian anak-anak kita untuk tidak segan-segan melaporkan setiap perilaku yang tidak menyenangkan dari siapa pun kepada pihak-pihak yang bisa membantu melindungi mereka dan menyelesaikan persoalan mereka secara tuntas dan transparan. Predator seksual yang mengancam anak-anak kita dapat muncul kapan saja dan di mana saja. Keluarga dan sekolah menjadi institusi penting yang diharapkan peranannya dalam ikut mengatasi persoalan ini.

Penulis adalah kolumnis dan blogger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *