Oleh GPB Suka Arjawa
Merebaknya virus Corona ke seluruh dunia, sampai negara-negara Eropa dan berbudaya kontinental, membuat kepanikan di mana-mana. Virus ini menyebar, awalnya antarhewan, kemudian menuju manusia, dan sudah tentu antarmanusia tanpa memandang ras. Virus ini mematikan dan belum ada obat yang dapat secara pasti menekannya, kecuali kesehatan fisik dari seseorang.
Artinya orang-orang yang fisiknya sudah segar dan kuat, lebih sulit terpapar virus ini. Maka, nasihat yang sering muncul adalah menjaga kebersihan: sering cuci tangan, makan yang teratur dan beraktivitas sesuai dengan porsinya secara benar. Tentu saja kata-kata soal nasib harus dikesampingkan. Sebab, jika sudah sampai mengatakan ini, tidak akan ada usaha yang dilakukan.
Secara faktual, penyebaran dari penyakit Corona sudah begitu cepat menuju hampir ke semua benua. Kanada merupakan negara pertama yang menyatakan terpapar oleh virus ini di Benua Amerika. Prancis menjadi negara Eropa yang pertama kali terpapar. Thailand dan Malaysia juga sudah mengakui terkena paparan virus ini.
Bahkan konon juga Singapura. Dari sini dapat dilihat bahwa pengakuan merupakan komponen penting untuk melakukan langkah-langkah dan penyadaran sosial. Pengakuan itu merupakan upaya keterbukaan dan langkah yang menentukan untuk pencegahan dan meluasnya penyebaran virus.
Secara internal, pengakuan akan memicu langkah pemerintah untuk segera membuat kebijakan pencegahan. Dan eksternalnya, masyarakat dan lembaga internasional akan memberikan bantuan, baik tentang sosialisasi maupun dana untuk meminimalkan penyebaran virus tersebut.
Dan secara sosial, sebuah pengakuan akan secara langsung menimbulkan reaksi, berupa pencegahan mandiri oleh masyarakat. Mereka akan berupaya untuk melakukan pencegahan dengan hidup secara lebih teratur, lebih bersih dan waspada dalam melakukan perjalanan.
Kita bersyukur jika sampai saat ini Indonesia tidak terkena penyebaran virus tersebut. Dan berharap agar tidak sampai ke Indonesia. Meski demikian, pelajaran yang penting bagi pengakuan dari negara-negara seperti yang disebutkan di atas itu, harus dilihat oleh Indonesia.
Artinya pemerintah tidak perlu menutup-nutupi jika ada kasus yang terjangkit di Indonesia. Apalagi misalnya hal itu dilakukan semata-mata hanya demi kepentingan pariwisata. Terlalu mahal harga kesehatan masyarakat Indonesia jika misalnya penutupan pengakuan itu hanya karena mengandalkan pariwisata belaka.
Jadi, tidak seperti zaman Orde Baru lagi, jika ada penyakit mematikan menjangkiti masyarakat dikemukakan saja. Tujuannya adalah agar masyarakat sigap dengan tindakan mandiri yang harus dilakukan.
Jika melihat kontak sosial yang terjadi di Indonesia, boleh dikatakan lalu-lintas perjalanan orang Indonesia ke luar negeri dan turis yang datang ke Indonesia cukup tinggi. Akan tetapi kesadaran untuk melindungi diri setelah lepas dari bandara atau tempat pemeriksaan terlihat kurang.
Masyarakat Indonesia sering kali terpaku pada nasib, sehingga upaya maksimal untuk melindungi diri itu berkurang. Tindakan dan kesiapsiagaan antisipasi di bandara di Indonesia sudah sangat bagus. Tetapi, haruslah kemudian diikuti oleh langkah masyarakat agar dapat melakukan tindakan pencegahan secara mandiri. Karena itulah, sekali lagi keterbukaan akan adanya kasus perlu dilakukan oleh pemerintah.
Jika melihat kemunculan virus mulai dari pasar ikan di Wuhan, Tiongkok, maka ada alasan bagi Indonesia untuk selalu waspada dengan kemunculan penyakit ini. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa virus Corona muncul dari lingkungan yang kotor kurang terawat.
Meski perkembangan di Wuhan itu berasal dari pasar ikan, tetapi banyak yang mengatakan bahwa wilayah merebaknya virus itu bukan sekadar pasar ikan, tetapi juga pasar campuran antara ikan dan hewan, plus lainnya. Jika pendapat ini benar maka haruslah diwaspadai juga perkembangan virus-virus baru di Indonesia.
Persoalan pasar itu tidak melulu harus diisi dengan komoditas yang dijual tetapi sikap dan perilaku sosial manusia yang ada di pasar tersebut. Artinya, pola perilaku sosialnya yang bisa membuat sebuah pasar itu menjadi kotor, kumal, sangat kumal, atau sebaliknya bersih. Di Indonesia, banyak pasar yang tidak bersih, semrawut, bercampur antara pasar ikan, hewan, daging, sayur dan sebagainya dengan komposisi yang lagi-lagi semrawut.
Perilaku sosial di dalam pasar juga sembarangan mulai dari meludah, bersin, hewan yang buang kotoran sembarangan, sampai dengan hewan tidak terpelihara yang tidur di berbagai tempat di pasar. Bangunan di pasar juga menjadi sarang burung, kelelawar dan sebagainya. Kondisi seperti itu masih banyak dijumpai pada pasar di Indonesia, terutama pasar tradisional. Tidak semua pasar tradisional di Indonesia besrsih. Bahkan di Bali yang kontak internasionalnya tinggi, masih dijumpai pasar tradisional yang kotor.
Menurut cerita tetua di masa lalu, Bali mempunyai sejarah kelam tentang kesehatan. Karena itulah muncul kata-kata seperti gering (sakit keras) dan gerubug (sakit yang sifatnya memassal dan menyebar), di mana fenomena ini kemudian melahirkan tektekan, okokan atau apa saja yang dipukul keras-keras dengan harapan agar ‘’sang pengganggu’’ yang membuat sakit itu menyingkir, keluar dari areal lingkungan manusia.
Melalui gambar-gambar kuno yang kini muncul di media sosial, maka dapat diduga perilaku sosial di masa lalulah yang memicu munculnya gerubug dan gering itu. Masyarakat Bali di masa lalu pergi ke pasar menjual babi, ayam, atau apa pun hewan lainnya secara terbuka, dipegang tangan terbuka berdampingan dengan dagang nasi dan makanan yang berada di sampingnya.
Semuanya nyampur dalam satu areal pasar. Bisa dibayangkan kotoran babi atau ayam melekat di tangan atau badan yang kemudian dipakai untuk mengonsumsi nasi di pasar. Jika kemudiana hal itu membuat diare, buang kotoran di sungai akan membuat penyakit menjadi menyebar secara cepat. Bukankah mandi di sungai menjadi arena sosial di masa lalu (bahkan masih sampai sekarang!)
Maka, dari konteks itu tidak cukup bagi pemerintah Indonesia mengimbau masyarakatnya untuk memakai masker atau mencuci tangan secara lebih bersih, tetapi juga secara tegas pemerintah daerah meninjau kompleks kumuh yang ada di daerahnya. Sejarah di Bali itu (jika memang seperti itu adanya sesuai dengan cerita tetua di Bali), dapat menjadi patokan bahwa perilaku sosial sangat berkaitan dengan menyebarnya penyakit, apalagi penyakit berbasis virus yang begitu mudah menyebar.
Jangan dikira masyarakat sudah berubah dibandingkan dengan masa lalu. Di Bali yang sudah begitu lama terjangkit rabies, masih saja banyak anjing berkeliaran. Juga ayam yang seenaknya diangkut di jalanan. Jika virus sudah menyebar, orang yang merasa kuat bertatto pun akan terjangkit, tidak kenal ampun.
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana