Oleh I Kadek Darsika Aryanta
Kemerdekaan belajar guru dan siswa merupakan idaman bagi seluruh insan pendidikan. Kemerdekaan belajar yang mulai digaungkan oleh menteri baru Nadiem Makarim merupakan salah satu solusi awal dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kemerdekaan guru dalam mengajar dicirikan oleh adanya kemampuan berpikir siswa dalam bernalar menjadi lebih tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi ini mutlak diperlukan untuk menghadapi era disrupsi serta Revolusi Industri 4.0.
Kemerdekaan belajar ini juga dicirikan oleh kemampuan siswa bebas memaknai dirinya. Siswa belajar tidak dalam tekanan sehingga siswa merasa belajar merupakan kebutuhannya. Belajar tidak hanya pada buku, kelas dan ujian saja, namun yang lebih penting adalah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki untuk menjadikan dirinya sebagai individu yang berguna bagi sesama. Siswa yang merdeka belajar lebih luwes untuk berdiskusi, aktif dalam pembelajaran dan kreatif dalam berpikir. Siswa yang merdeka dalam belajar lebih memiliki entitas diri menjadi lebih terbuka.
Kemerdekaan belajar bagi seorang guru bisa diartikan sebagai kemerdekaan berpikir bagi guru dalam mengajar. Tanpa adanya kemerdekaan guru, tidak mungkin kemerdekaan belajar siswa bisa terjadi. Kemerdekaan mengajar guru membuktikan bahwa keluwesan dalam belajar merupakan suatu syarat mutlak dalam penumbuhan berpikir kreatif siswa.
Konsepsi kemerdekaan belajar ini merupakan suatu jawaban atas masalah apa yang terjadi di dalam dunia pendidikan sekarang ini. Sekarang ini siswa jadi objek investasi dari guru-orangtua dan pemerintah. Peserta didik diberikan ilmu pengetahuan agar kelak mendapatkan hasil yang berlipat ganda. Selama ini juga siswa dianggap sebagai objek yang tidak tahu apa-apa yang harus dibanjiri dengan pengetahuan yang belum tentu siswa senangi atau dia minati.
Metode pendidikan seperti ini akan memunculkan generasi-generasi yang antidialogis, superioritas, dan egosentrisnya guru di dalam kelas. Di dalam kelas guru mengetahui semuanya dan siswa dianggap tidak tahu. Guru terus menggunakan metode ceramah karena guru ibaratnya adalah sumber pengetahuan dan siswa adalah gelas kosong yang siap diisi kapan saja untuk menerima pengetahuan. Egoisitas guru dalam kelas masih kentara manakala dalam pembelajaran di kelas guru adalah subjeknya, sedangkan siswa adalah objek.
Efek yang lain dalam pendidikan sekarang ini adalah adanya dehumanisme dalam pendidikan. Siswa dijadikan sebagai objek penderita dan dijadikan sebagai kelinci percobaan egoisitas yang sempit demi mencapai tujuan politis bagi beberapa pengampu kebijakan. Siswa dikungkung dalam keterikatan kurikulum yang kaku. Guru harus mengajarkan muatan pendidikan yang sesuai dengan kurikulum yang beraneka ragam serta tugas-tugas yang berjubel bagi siswa. Siswa tidak diberikan kebebasan untuk memilih matapelajaran yang dia sukai. Guru, pemerintah dan orangtua memaksakan muatan kurikulum secara seragam kepada seluruh siswa. Padahal kita ketahui bersama bahwa siswa merupakan peribadi yang unik dan beragam.
Dari segi aspek pendidik, guru dijadikan budak administrasi oleh para pemangku kebijakan. Beban administrasi yang tinggi, seakan mengaburkan tujuan utama guru yaitu mengajar dan belajar. Guru seharusnya pedagog bukan demagog yang hanya tunduk dan kaku dalam hal administrasi. Selain itu, kewajiban jumlah mengajar minimal guru sangat berpengaruh terhadap kinerja mengajar guru.
Berjubelnya tuntutan administrasi dan kewajiban mengajar minimal yang tidak sesuai dengan kesejahteraan guru yang jauh panggang dari api. Gaji buruh di pasar lebih besar dari guru honorer. Tak pelak profesi guru sangat tidak menjanjikan bagi kaum milenial. Tentu ini merupakan masalah yang sangat serius bagi Lembaga Perguruan Tinggi Kependidikan (LPTK). Lembaga penghasil calon-calon guru ini diharapkan bisa melahirkan guru-guru profesional dan memperjuangkan kesejahteraan guru.
Di era Menteri Nadiem ini konsep merdeka belajar serasa digerakkan kembali. Nadiem seakan merobek kembali tirai-tirai usang konsep pembelajaran lama dan mengembalikan marwah konsep belajar menyenangkan dari Ki Hajar Dewantara. Gerakan merdeka belajar yang digalakkan oleh Menteri Nadiem merupakan jawaban ampuh dalam mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dengan negara-negara lain.
Gerakan merdeka belajar di dunia pendidikan dimulai dari akar rumput pendidikan itu sendiri yaitu guru dan siswa. Gerakan ini dimulai dari arahan pidato Menteri Nadiem dalam Hari Pendidikan Nasional 25 November 2019 lalu. Membuat siswa aktif, berdiskusi dengan siswa dan memulai dengan proyek tertentu merupakan arahan Menteri Nadiem untuk memulai kemerdekaan belajar bagi guru dan siswa.
Gerakan merdeka belajar dapat diawali oleh guru. Guru adalah pembelajar andal. Karena sejatinya guru adalah pembelajar itu sendiri. Jadi bagaimana mungkin guru mampu menginspirasi siswa jika dirinya sendiri miskin akan inspirasi. Semakin guru sering belajar maka guru tersebut akan mampu menginspirasi siswa untuk terus belajar.
Pemikiran guru yang terbuka sangat diperlukan untuk mewujudkan kemerdekaan belajar. Pemikiran guru yang terbuka ini (open minded) akan mampu memberikan efek perubahan ke arah yang positif bagi perkembangan pendidikan. Keterbukaan belajar guru ini akan memberikan efek yang luar biasa bagi komunitas belajarnya, baik di sekolah maupun di dalam sesama organisasi profesinya.
Gerakan merdeka belajar yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan suasana belajar dan mengajar yang menyenangkan dengan cara mengusung tingkat kesetaraan antara murid dan guru. Guru difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang baik dalam mengajar dan siswa diberikan akses yang luas untuk mampu belajar dengan baik.
Perhatian pemerintah terhadap dukungan sarana dan prasarana sekolah dapat difokuskan pada penyediaan sarana teknologi informasi yang mendukung pembelajaran. Penyediaan akses yang luas bagi siswa juga dapat dilakukan dengan membuat sanggar kegiatan belajar bersama di seluruh pelosok tanah air kita.
Langkah gerakan kemerdekaan belajar pada tahun 2020 ini dimulai dengan mengembalikan kewenangan penilaian akhir jenjang pada sekolah, guru didorong untuk mulai dan secara terus-menerus mengembangkan kapasitas profesionalnya terkait asesmen. Hal yang didobrak kembali adalah penilaian akhir jenjang tidak harus mengandalkan tes tertulis. Guru dapat menggunakan beragam bentuk asesmen yang sesuai dengan kompetensi yang diukur, termasuk bentuk asesmen yang lebih dikenal oleh masing-masing guru.
Kemerdekaan belajar lainnya adalah peran Dinas Pendidikan dalam koordinasi penyelenggaraan ujian yang seragam sekarang ini sudah mulai dikurangi. Peran Dinas Pendidikan sekarang ini lebih diutamakan pada pengembangan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan mutu pembelajaran.
Sehingga guru menjadi lebih bebas mengajar dan menentukan penilaian siswa sesuai dengan kebutuhan. Konsekuensi kebijakan baru ini bagi sekolah yaitu sekolah perlu mendukung praktik asesmen yang baik, yakni asesmen yang berdampak positif pada proses dan hasil belajar siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi guru untuk berkolaborasi mengenai strategi asesmen yang tepat bagi siswa dan kondisi sekolah masing-masing.
Penulis, Guru SMA Negeri Bali Mandara, Singaraja