BANGLI, BALIPOST.com – Arak Bali saat ini sudah dilegalkan dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Minuman Khas Bali. Di Kabupaten Bangli, terdapat sebuah banjar yang dulunya terkenal sebagai penghasil arak yaitu Banjar Jelekungkang, di Desa Tamanbali.
Sekitar tahun 70-an hampir sebagian besar warga di banjar itu melakoni usaha pembuatan arak tradisional di rumah masing-masing. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah perajin arak di sana terus berkurang. Saat ini perajin arak yang tersisa hanya satu orang.
Adalah Gusti Putu Tambun, warga Jelekungkang yang sampai sekarang masih bertahan sebagai penghasil arak. Pria berusia 77 tahun itu sudah berkecimpung menjadi perajin arak sejak tahun 1965.
Keterampilannya membuat arak diperolehnya secara turun temurun. “Memang dari dulu orang tua saya sudah buat arak,” ungkap Gusti Tambun saat ditemui di rumahnya, Kamis (6/2).
Dia mengungkapkan, dulunya hampir semua warga di Banjar Jelekungkang melakoni usaha pembuatan arak. Hal inilah yang membuat Banjar Jelekungkang terkenal dengan araknya. Namun seiring perkembangan zaman, pembuatan arak kian ditingalkan warga.
Banyaknya pilihan pekerjaan lain yang pendapatannya lebih menjanjikan menjadi salah satu alasan kenapa banyak warga yang kemudian tidak lagi menjadi perajin arak. “Kalau dulu di sini ada pengepulnya. Lama kelamaan warga yang buat arak terus berkurang,” terangnya.
Dirinya sendiri masih bertahan membuat arak di rumahnya karena tidak punya pekerjaaan lain. Gusti Tambun mengaku memproduksi arak setiap dua hari sekali. Untuk bisa menghasilkan satu liter arak, waktu yang dibutuhkan untuk proses penyulingan hingga 7-11 jam.
Semua proses dilakukan dengan teknik dan alat yang masih sangat tradisional. Biasanya untuk menghasilkan satu liter arak, dirinya memasak sekitar 8 liter tuak ke dalam satu dandang. “Untuk dapat tuak saya harus naik pohon kelapa yang ada di belakang rumah setiap hari,” terangnya.
Satu liter tuak buatannya dijual dengan harga Rp 35 ribu per satu botol kemasan air mineral tanggung. Selama ini arak buatannya dijual kepada warga sekitar dan kepada pemesan dari luar Bangli. Selain untuk diminum, arak buatannya banyak dipakai untuk campuran boreh.
Gusti Tambun sendiri mengaku sudah mengetahui bahwa arak Bali kini telah dilegalkan pemerintah. Sebagai perajin arak tentu ia menyambut baik hal itu.
Di usianya yang sudah tidak lagi muda ini, dia tidak bisa memproduksi arak dalam jumlah banyak. “Karena tidak kuat,” ujarnya.
Kadus Jelekungkang Komang Sutrisnayasa diwawancara terpisah juga mengakui bahwa banjarnya dulu pernah terkenal sebagai penghasil arak. Itu karena mayoritas warga di dusun tersebut melakoni pekerjaan sebagai pembuat arak. “Seiring perkembangan jaman, karena generasi kurang mau meneruskan pekerjaan orang tuanya membuat arak dan memilih terjun ke pariwisata, jumlah pembuat arak kini sudah sangat sedikit,” terangnya.
Dengan telah terbitnya Peraturan Gubernur yang mengatur legalitas arak Bali, Sutrisnayasa mengaku pihaknya akan mencoba mendorong warganya untuk memproduksi arak. Karena sudah legal, tentu pembuatan arak tidak perlu lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Untuk pemasarannya pihaknya akan memanfaatkan keberadaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Arak produksi warga Jelekungkang akan diupayakan untuk bisa diberi label sehingga punya ciri khas. “Mudah-mudahan warga yang dulunya orang tuanya ngirisin, mau kembali menggeluti usaha ini. Karena sekarang kan sudah aman dari segi hukum. Kalau dulu kan ketakutan karena diuber-uber, kadang ditangkep,” imbuhnya. (Dayu Swasrina/balipost)