DENPASAR, BALIPOST.com – Ahli virus menyebutkan pemeriksaan rapid test tidak cukup menjadi indikator untuk merelease orang yang datang dari daerah pandemi COVID-19 ke lingkungan masyarakat. Karena rapid test merupakan teknik skrining awal untuk mendeteksi antibodi, yaitu IgM dan IgG, yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan virus Corona.
Pakar Virologi dari Universitas Udayana Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan, secara virology yang dipakai merealease atau melepaskan orang ke lingkungan komunal, hanya yang paling peka yaitu teknik PCR. “Jangan menggunakan teknik rapid test untuk mengambil keputusan merealease orang,” ujarnya.
Jika hasil pemeriksaan rapid tes positif, sedangkan pemeriksaan swab atau PCR negatif, menurutnya, orang seperti ini yang diharapkan semakin banyak. Namun jika seseorang dari hasil pemeriksaan rapid tes negatif, harus dilakukan pemeriksaan PCR.
“Karena jika hasil rapid test-nya positif berarti positif antibodi, negatif virus, artinya dia sudah kebal. Jika orang–orang seperti itu ada bersama kita di lingkungan, maka virus tidak akan berhasil menulari banyak orang. Jadi mereka sebagai bamper, bendungan untuk penyebaran virus yang lebih banyak lagi,” jelasnya.
Pada orang–orang yang berpotensi terinfeksi COVID-19, seperti para pekerja migran Indonesia dan orang yang mobilitasnya tinggi ke daerah zona merah, harus dilakukan pemeriksaan rapid test, kemudian dikarantina dalam pengawasan negara.
Menurutnya karantina mandiri tidak akan efektif pada kondisi Indonesia saat ini. Karena belum adanya sistem yang baik, terkait pengelolaan data riwayat seseorang. Pengelolaan data bisa dengan memberikan penandaan pada seseorang yang telah dilakukan pemeriksaan rapid test.
Penandaan tersebut seperti penanda warna hijau untuk bebas, kuning untuk ODP, merah untuk PDP. “Namun karena sistemnya belum ada, menurutnya perlu ada ada karantina di bawah negara,” imbuhnya
Ia pun melihat adanya peluang karantina oleh negara. Apalagi banyak hotel yang tidak ada tamu, itu mestinya bisa diberdayakan.
Sedangkan pemberdayaan desa adat sebagai pengawas perilaku masyarakat komunal, bisa saja dilakukan dengan system gotong yong jika negara tidak mampu lagi menangani. “Sekarang ini tentu agak aneh diserahkan ke desa adat dengan sistem kita. Kita tahu disiplin warga kita tidak terlalu tinggi, kewajiban melaporkan tidak diterapkan. Kemudian kita tidak pernah bisa memonitor orang yang bersangkutan pergi kemana,” bebernya. (Citta Maya/balipost)