Oleh: Gusti Ngurah Mahardika
Seluruh dunia sekarang mengalami kejadian luar biasa penyakit Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), tak terkecuali Indonesia dan Bali. Diidentifikasi di Kota Wuhan, Tiongkok, pada akhir Desember 2019, dalam waktu tiga bulan saja, virus ini sudah terdeteksi pada orang di hampir semua negara.
Per 31 Maret 2020, jumlah kasus melebihi 750.000 orang. Korban jiwa melebihi 36.000 jiwa.
WHO telah mendeklarasikan penyakit ini sebagai pandemi sejak 11 Maret 2020. Pandemi artinya penyakit sudah menyebar di berbagai penjuru dunia.
Pandemi Covid-19 baru dalam fase penaikan aktivitas yang cepat. Dalam fase awal saja, guncangannya sudah terasa luar biasa. Ini bukan saja masalah kesehatan. Fatalitas kasus sebenarnya tidak tinggi sekali.
Sampai saat naskah ini ditulis, 13 April 2020, porsi fatalitas dibandingkan dengan jumlah kasus terkonfirmasi di seluruh dunia adalah 6%. Akan tetapi, pandemi lebih mematikan sosial-ekonomi negara dan masyarakat. Pekerja dirumahkan. Banyak pabrik tutup karena ketiadaan bahan baku atau pasar. Bursa saham anjlok. Ekspor-impor berhenti. Pariwisata hilang.
Kasus COVID-19 kini memasuki gelombang kedua di seluruh dunia, setelah kasus awal di Tiongkok sebagai gelombang pertama. Episentrum sekarang ada di Eropa dan Amerika Serikat. Indonesia terdampak saat gelombang kedua ini.
Pandemi ini menunjuk satu hal bahwa tidak ada negara yang siap. Pola gelombang wabah dalam tiga gelombang sudah terjadi saat pandemi Flu Spanyol 1918-1919. Gelombang kedua saat itu tercatat lebih dahsyat. Itulah yang terjadi sekarang di seluruh dunia. Semua negara lalai.
Coronavirus
Coronavirus adalah makhluk superkecil. Jika tebal rambut hanya 1 mm, virus Corona besarnya satu per 12.000 tebal rambut. Covid-19 berasal dari virus kelelawar. Ia mengalami perubahan genetik sehingga mudah menular dari orang ke orang.
Banyak yang belum diketahui tentang COVID-19. Wabah Coronavirus oleh COVID-19 adalah wabah ketiga oleh virus dari keluarga yang sama. Wabah pertama adalah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) tahun 2003. Yang kedua adalah Middle East Respiratory Syndrome (MERS) tahun 2013.
Gejala yang ditimbulkan oleh ketiga virus ini mirip, yaitu gangguan pernapasan akut dan berat. Karenanya, COVID-19 disebut para ahli sebagai SARS-Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
Yang membedakan ketiganya adalah daya sebar, lingkungan penularan, dan fatalitas kasus. Daya sebar COVID-19 luar biasa cepat dibandingkan dua pendahulunya. Diketahui sejak akhir 2019, virus ini sudah dikonfirmasi pada 750.890 orang di berbagai penjuru dunia sampai 31 Maret 2020. Itu tiga bulan sejak ditemukan.
SARS dalam waktu 8 bulan hanya terkonfirmasi pada 8.000 orang. MERS lebih lambat. Ditemukan 2012 di Saudi Arabia, sampai 2017 jumlah kasus terkonfirmasi hanya sekitar 2.000 orang.
Lingkungan penularan tiga serangkai Coronavirus patogen manusia ini juga berbeda. COVID-19 membentuk pola transmisi antarorang di komunitas (community transmission), walau penularan di rumah sakit (hospital setting) juga terjadi. SARS dan MERS lebih dominan penularan antarorang di rumah sakit. Kefatalan kasus COVID-19 masih harus ditunggu. SARS dan MERS mempunyai tingkat kefatalan sekitar 9% dan 35%.
Dari pengamatan penulis, COVID-19 mempunyai ciri molekuler yang unik, sebagian ciri molekuler mirip SARS, sebagian mirip MERS. Dalam keganasan, penulis prediksi Covid-19 bisa mendekati keganasan SARS (fatalitas 9%), bisa mendekati MERS (fatalitas 35%), atau bisa berbeda sendiri. Angka ini baru kita akan tahu setelah pandemi berakhir. Kecepatan penyebaran yang luar biasa dari COVID-19 pasti dipengaruhi oleh sifat genetik virusnya. Transportasi udara yang meningkat tahun 2019 dibandingkan 2003-2004 mestinya tidak menyebabkan peningkatan yang meroket.
Dari data statistik (www.statista.com), jumlah penumpang udara 2003-2019 meningkat 130%. Jumlah penduduk kemungkinan mempunyai peran yang kecil. Data Bank Dunia menunjukkan penduduk dunia meningkat antara 2003-2018 sebesar 37% (https://data.worldbank.org/).
Porsi yang Sakit Parah Kecil
Artinya, kita menghadapi virus yang punya daya penularan antarmanusia yang demikian efisien. Walau demikian, COVID-19 tampaknya ringkih suhu dan kelembaban yang tinggi. Jika dilihat peta pusat-pusat kasus terkonfirmasi, virus ini terutama terjadi di daerah suhu sedang sampai dingin di belahan bumi utara.
Kasus di belahan bumi selatan, termasuk Indonesia, Australia, India, Afrika, dan Amerika Selatan, seperti limpahan (spill-over) dari pusat pandemi. Di wilayah ini yang selalu panas dan lembab, atau sedang musim panas, virus tak tahan lama. Penularan hanya terjadi melalui kontak dekat.
Walau limpahan, risiko juga tak rendah. Beberapa negara, seperti Indonesia, Filipina, dan India mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, sehingga virus dapat mempunyai media subur untuk menyebar. Pembatasan sosial yang diberlakukan di negara-negara tropis, termasuk Indonesia, akan sangat efektif jika penduduk displin menjalankannya.
Informasi dari WHO, sebagian besar (80%) pasien yang sakit sembuh tanpa pengobatan khusus. Perlu ditekankan bahwa tidak setiap orang yang terpapar virus akan tertular dan menjadi sakit. Data dari karantina Kapal Diamond Prince di Jepang bisa kita jadikan patokan dalam kondisi yang ekstrem seperti dipublikasi di Journal Eurosurveillance.
Persentase orang terpapar tetapi tak terinfeksi sekitar 75%. Proporsi yang positif tanpa gejala adalah 8%, dan yang simptomatik adalah 17%. Kalau panduan WHO kita pakai, pasien yang perlu pengobatan khusus hanya 3,4% dari populasi. Data dari Wuhan yang dipublikasi di JAMA menyebutkan pasien yang kritis hanya 5% dari yang mengeluh ringan sampai berat. Berarti 5% dari 17%. Itu hanya 0,85%. Di alam yang sebenarnya, bukan kapal pesiar, angkanya dapat jauh lebih kecil.
Lindungi Warga yang Sepuh
Pandemi ini mengajari kita, penyakit bukan hanya masalah dokter, perawat, dan rumah sakit. Jika meletup hebat seperti sekarang, penyakit akan melumpuhkan semua sistem sosial ekonomi rakyat. Kalau tidak ditangani benar, ancaman keamanan bisa saja terjadi. Pandemi seperti ini bisa saja berulang di waktu yang akan datang.
Karena itu, pemerintah dan politisi harus mengubah strategi. Sistem kesiap-siagaan menghadapi bencana pandemik harus dibangun di pusat dan daerah. Termasuk di dalamnya adalah peraturan perundangan, infrastruktur rumah sakit dengan ruang isolasi dan ventilator yang memadai, infrastruktur diagnostik yang modern, sistem karantina mandiri, perencanaan logistik, serta pelatihan sumber daya rutin.
Jika wabah terjadi lagi, sistem itu tinggal diimplementasikan. Semua siap. Masyarakat merasa aman.
Masyarakat tak perlu panik. Jumlah yang sakit sampai perlu perawatan intensif porsinya kecil. Sebagian besar tidak akan terinfeksi walau terpapar. Jikapun tertular, sebagian besar tak menjadi sakit. Kalaupun sakit, peluangnya lebih banyak sakit ringan sampai sedang yang tidak memerlukan perawatan khusus.
Pembatasan sosial skala kecil yang diterapkan di Bali dan banyak daerah di Indonesia hanya efektif jika semua warga taat, diam di rumah. Ngoyong jumah. Meneng ring jero/puri/geria/pondok. Kalau terpaksa keluar rumah, kita pakai masker dan rajin cuci tangan pakai sabun. Mereka yang diwajibkan karantina mandiri agar disiplin. Jika anda keras kepala, anda membahayakan orang-orang tua yang anda sayangi. Mari kita lindungi terutama orang-orang sepuh berusia lebih dari 60 tahun. Bagi Covid-19, merekalah yang paling mudah sakit yang membahayakan.
Penulis adalah profesor dalam ilmu virologi Universitas Udayana, Bali