DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah telah membuka izin impor gula pada akhir Maret lalu. Meskipun keran impor telah dibuka, nyatanya di lapangan harga gula masih tinggi yaitu Rp 18.000 per kg.
Ketua Aprindo Bali A.A. Ngurah Agung Agra Putra, Senin (20/4), mengatakan, ia juga mempertanyakan terkait hal tersebut. Gula pasir kemasan 1 kg masih sulit didapatkan.
Sedangkan di pasar tradisional atau pasar rakyat, barangnya ada namun harganya menyentuh Rp 18.000 per kg. Padahal, Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 12.500 per kg, harga eceran dari distributor juga sudah ada ketentuannya yaitu Rp 11.900 per kg.
“Sedangkan, kita diminta menjual Rp 12.500. Tapi sekarang harga dari distributor sudah melebihi dari HET, sehingga kami tidak mungkin menjualnya Rp 12.500,” ungkapnya.
Ia pun mendengar di daerah lain ritel tetap diminta menjual Rp 12.500, sedangkan harga di distributor lebih dari Rp 12.500 sehingga para ritel berpikir untuk tidak menjual gula. Saat ini yang terjadi harga gula dari distributor sudah melampaui HET yaitu Rp 17.200 sampai Rp 17.400 sehingga ritel menjual dengan harga Rp 18.000 sampai Rp 20.000 per kg.
Menurutnya, dengan dibukanya keran impor, seharusnya ketersediaan gula terjaga sehingga harganya juga stabil. “Kita masih bertanya-tanya pada kementerian, kenapa sampai sekarang distribusi gula belum lancar,” ujarnya.
Masih tingginya harga gula menurutnya karena permintaan masih lebih tinggi dari ketersediaannya. Atau bisa juga karena distribusi yang belum lancar, mengingat terjadinya wabah COVID-19 yang membuat sejumlah daerah dibatasi lalu lintasnya. Di samping itu juga saat ini perekonomian juga turun.
Ditanya soal adanya indikasi spekulan, Agung Agra tidak menjawab. Hanya saja dikatakan gula memang menjadi salah satu komoditi yang digunakan oleh para spekulan. Maka dari itu ia meminta peran pemerintah melalui aparat yang berwenang untuk mengawasi tata niaga gula. (Citta Maya/balipost)