Prof. Dr. I Made Surada, MA. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Umat Hindu di Bali akan melaksanakan upacara peneduh jagat secara serentak, Rabu (22/4). Upacara yang dilaksanakan hanya sewaktu-waktu jika ada kejadian bencana, penyakit, maupun gering agung ini akan dilaksanakan berjenjang.

Mulai dari Pura Agung Besakih, lalu dilanjutkan di pura kahyangan tiga, hingga tingkat rumah tangga. Di tingkat rumah tangga, umat Hindu agar menghaturkan banten pejati dan segehan putih sembilan tanding. Di Pura Kahyangan Tiga, juga menghaturkan pejati, namun lebih besar.

Guru Besar Filsafat IHDN Denpasar, Prof. Dr. I Made Surada, MA., Senin (20/4), mengatakan berdasarkan keyakinan Agama Hindu Bali yang dimuat dalam Lontar Roga Sanghara Gumi upacara peneduh jagat bisa dilakukan untuk menangkal merana, gering agung, sasab di alam semesta ini. Caranya dengan melakukan upacara korban atau yajña kepada alam agar kembali menjadi seimbang.

Baca juga:  Waspada! Angka Gangguan Bipolar Meningkat di Kalangan Milenial

Dalam kamus, Upacara Peneduh Jagat artinya upacara untuk penenang dan pengaman jagat (alam semesta beserta isinya). Dikatakan, upacara Peneduh Jagat yang akan dilaksanakan pada Tilem Kedasa, Rabu (22/4) adalah suatu usaha umat Hindu di Bali untuk menangkal dan memutus wabah pandemi COVID-19 secara niskala.

Dalam keyakinan agama Hindu di Bali semua merana, gering agung, sasab dan virus berasal dari laut, penguasa laut adalah dewa Baruna. Umat Hindu di Bali yakin bahwa kekuatan positif dan juga negatif bersumber dari laut atau segara.

Dengan demikian, selain permohonan ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Sang Hyang Tiga Wisesa (Penguasa), juga kepada Dewa Baruna agar alam semesta dan segala isinya dianugrahkan ketentraman, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Baca juga:  Siapkah Bali Hadapi Turbulensi Ekonomi?

“Pelaksanaan upacara peneduh jagat yang akan dilaksanakan sudah sesuai, yaitu dimulai di Besakih kemudian disusul di lima titik segara (laut) sesuai arah atau kiblat, yaitu di bagian Timur dilaksanakan di Segara Seraya, Selatan di Segara Geger, Barat di Segara Rupek, Utara di Segara Panegil Dharma, dan di Tengah-tengah diambil di Segara Batu Klotok,” ujar Prof. Surada, Senin (20/4).

Dijelaskan, bahwa upacara peneduh jagat bertujuan agar bumi beserta isinya aman, tentram dan damai seteleh berbagai peristiwa menimpa dan mengganggu kesejahteraan masyarakat. Apalagi, upacara Peneduh Jagat ini sejatinya didasari atas konsep Dewāya Bhutāya.

Sang bhuta kala (kekuatan alam) yang ngrebeda (terganggu/tidak sehimbang) dipanggil dan diberikan persembahan/upacara agar somia (tenang). Dalam keadaan somia atau degdeg/tenang, muncul sifat – sifat Dewa/kedewataan.

Baca juga:  Nyakan Diwang di Kecamatan Banjar Masih Lestari, Bunyi Kulkul Tanda Dimulainya Tradisi

Lebih lanjut dikatakan, dalam sifat kedewataan ini kemudian dipuja untuk melimpahkan berkah atau waranugraha. Inilah konsep umat Hindu di Bali yang memegang tradisi luhur yang diwarisi leluhur kita di Bali.

Diharapkan, melalui upacara ini, pandemi COVID-19 bisa segea direda dan putus penyebarannya. Sehingga, terganggunya keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia bisa diminimalisir dengan upacara.

“Selain bencana alam, beberapa kejadian yang terjadi di luar akal sehat manusia, hingga konflik-konflik sosial yang terjadi di masyarakat perlu disikapi dengan melaksanakan upacara, mari kita yakinin sastra warisan leluhur kita di Bali,” pungkasnya. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *