DENPASAR, BALIPOST.com – Beberapa hari belakangan ini masyarakat mengeluhkan panasnya suhu udara di siang hari. Suasana terik ini umumnya disebabkan oleh suhu udara yang tinggi dan disertai oleh kelembapan udara yang rendah, terutama terjadi pada kondisi langit cerah dan kurangnya awan, sehingga pancaran sinar matahari langsung lebih banyak diteruskan ke permukaan bumi.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Pusat Herizal menjelaskan, berkurangnya tutupan awan terutama di wilayah Indonesia bagian selatan pada bulan-bulan ini disebabkan wilayah ini tengah berada pada masa transisi dari musim hujan menuju musim kemarau, seiring dengan pergerakan semu matahari dari posisi di atas khatulistiwa menuju belahan bumi utara. Transisi musim itu ditandai oleh mulai berembusnya angin timuran dari Benua Australia (monsun Australia) terutama di wilayah bagian selatan Indonesia.
Angin monsun Australia ini bersifat kering kurang membawa uap air sehingga menghambat pertumbuhan awan. “Kombinasi antara kurangnya tutupan awan, serta suhu udara yang tinggi dan cenderung berkurang kelembapannya inilah yang menyebabkan suasana terik yang dirasakan masyarakat,” jelasnya dalam siaran pers, Kamis (23/4).
Sesuai dengan prediksi BMKG sebelumnya, Maret hingga April menunjukkan suhu yang terus menghangat, hampir di sebagian besar tempat di Indonesia. Pada bulan ini, teridentifikasi banyak daerah yang mengalami suhu maksimum 34°C hingga 36°C, bahkan yang tertinggi tercatat mencapai 37,3°C pada tanggal 10 April 2020 di Karangkates, Malang. Sementara kelembapan udara minimum di bawah 60% terpantau terjadi di sebagian Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, sebagian Jawa Timur dan Riau.
Secara klimatologis, April-Juni memang tercatat sebagai bulan-bulan dimana suhu maksimum mengalami puncaknya di Jakarta, selain Oktober – November. Pola tersebut mirip dengan pola suhu maksimum di Surabaya. Sementara, di Semarang dan Jogjakarta, pola suhu maksimum akan terus naik secara gradual pada bulan April dan mencapai puncaknya pada bulan September – Oktober.
Meskipun tingginya suhu maksimum hari-hari ini, tidak dapat dikatakan dipicu secara langsung oleh perubahan iklim. Namun, dalam analisa perubahan iklim oleh Peneliti BMKG dengan menggunakan data yang panjang sejak tahun 1866, diketahui bahwa tren suhu maksimum di Jakarta telah meningkat signifikan sebesar 2,12°C per 100 tahun. Demikian pula pada lebih dari 80 stasiun BMKG untuk pengamatan suhu udara di Indonesia dalam periode 30 tahun terakhir.
“Tren suhu udara yang terus meningkat itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak tempat di dunia, yang kemudian kita kenal sebagai fenomena pemanasan global. Pemantauan suhu rata-rata secara global menunjukkan hampir tiap tahun tercatat rekor baru suhu tertinggi dunia,”ungkapnya. (Winatha/balipost)