Desa Adat Buleleng membagikan tirta Peneduh Gumi Rabu (22/4). (BP/Istimewa)

Oleh: GPB Suka Arjawa

Beberapa waktu lalu masyarakat Hindu Bali melaksanakan upacara Paneduh Jagat yang dipusatkan di Pura Penataran Agung Besakih. Di masing-masing desa dan rumah tangga juga dilaksanakan upacara seperti itu.

Tertib sekali, pagi-pagi menjelang fajar, masyarakat menghaturkan banten, sesajian dan kemudian melaksanakan persembahyangan di tempat persembahyangan keluarga. Dilihat dari nama upacaranya, jelas ritual ini mempunyai tujuan untuk menyelamatkan, menenangkan, dan menyejukkan bumi (bukan sekadar Indonesia) dari segala marabahaya. Tentu yang dimaksudkan dalam konteks ini, agar bumi terhindar dari wabah Covid-19 yang melanda seluruh dunia sampai sekarang.

Permohonan kepada Tuhan merupakan bentuk paling mutlak dari umat manusia terhadap kekuatan yang berada di luar batasnya. Ini merupakan ciri tradisional sekaligus klasik dari umat manusia. Beberapa pihak sering memelesetkan dan mencibir, bahwa manusia baru akan ‘’menghadap’’ Tuhan apabila menemui kesulitan, apalagi kena gering agung. Lagi-lagi ini barangkali sifat manusiawi.

Secara tradisional, masyarakat Hindu Bali juga sering menggelar ritual sekala (sikap sosial) untuk mengusir wabah yang ada di lingkungannya masing-masing. Kurang lebih penafsirannya adalah demikian, masyarakat percaya bahwa wabah disebabkan oleh ‘’makhluk halus’’ yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Maka, dia (mereka) harus diusir dengan cara membikin lingkungan hiruk-pikuk. Dengan hiruk-pikuk itulah diharapkan wabah yang disebabkan oleh makhluk tidak kelihatan akan menyingkir (bukankah virus Corona merupakan makhluk halus yang tidak terlihat mata telanjang manusia). Studi-studi terhadap seni Okokan di Kediri, Tabanan dan Tektekan di Kerambitan, Tabanan, bermula dari adanya wabah ini. Artinya, di masa lalu, di Tabanan pernah ada wabah yang mengganggu kehidupan sosial. Kemungkinan besar tragedi pandemi flu Spanyol yang menghantam dunia tahun 1918 (satu abad yang lalu) juga menjangkiti masyarakat Bali, sehingga memunculkan lema bah bedeg, yang artinya manusia rebah seperti gedek akibat sakit tak tertahankan dan kemudian meninggal.

Baca juga:  Birokrasi yang Lamban

Jadi, masyarakat Hindu Bali sesungguhnya telah mempunyai modal dasar untuk mengusir wabah, yaitu modal niskala dan sekala. Modal niskala sudah tidak bisa diganggu-gugat lagi, tetapi sebagai masyarakat beragama ini merupakan hukum mutlak yang paling awal. Modal dasar kedualah yang harus dikembangkan oleh masyarakat, yaitu modal sekala tersebut. Modal sekala ini bukan saja menjadi modal dasar tetapi sekaligus modal sosial yang dapat dikembangkan sedemikian rupa hebatnya dan memberikan inspirasi berpikir untuk mengembangkan kecerdasan. Dalam bahasa ‘’sombongnya’’ modal sekala inilah yang dapat di-state of the art-kan oleh siapa pun, baik ilmuwan, cendekiawan maupun mereka yang kritis terhadap berbagai perkembangan dunia. Termasuk soal wabah ini.

Sayang sekali, model dasar sekala yang berupa ‘’gunung pengetahuan’’ ini dibiarkan begitu saja, tidak dijamah, bahkan takut dikembangkan karena takut kapongor. Padahal leluhur telah memberikan sebuah ‘’gunung pengetahuan’’ yang harus dikembangkan oleh generasi penerus, tanpa harus takut-takut. Asal mengembangkannya secara etis dan tidak menimbulkan pertengkaran. Akibat dari ketakutan untuk mengembangkan ‘’gunung pengetahuan’’ itulah kemudian, kedua modal dasar itu berjalan sangat tidak seimbang dan justru membikin kacau perkembangan sosial. Masyarakat hanya melakukan pendekatan niskala saja secara baik, tetapi modal sekala-nya nol besar bahkan macet, kacau-balau dan justru menambah kesulitan pencegahan wabah.

Baca juga:  Berpikir dan Bertindak Reversal

Upacara Paneduh Jagat telah dilakukan di mana-mana, mulai dari tingkat keluarga, masyarakat sampai di Pura Besakih. Sehari sebelum upacara, bahkan dua atau tiga hari sebelumnya anggota masyarakat sibuk berdiskusi mencari alat kelengkapan upacara. Ada yang sok paling tahu tentang kelengkapan banten, termasuk di posisi mana akan ditaruh. Akan tetapi hanya beberapa jam setelah upacara Paneduh Jagat itu digelar, bahkan bersamaan dengan upacara itu, mobil dan sepeda motor berseliweran hebat di jalanan. Ada juga yang merasa fisiknya hebat, berkendaraan tanpa memakai masker.

Lalu, bagaimana kemudian kita menjelaskan fenomena ini. Di mana kesadaran sekala mereka untuk menghentikan Covid-19. Bahkan, mereka yang berkeliaran di jalan itu seolah meremehkan ritual Paneduh Jagat yang diselenggarakan. Sebagai sebuah fenomena, terlalu sering masyarakat bertindak seperti ini. Misalnya kendaraan diberi upacara besar-besaran saat Tumpek Landep. Akan tetapi kesadaran untuk mengecek rem kendaraan, gir, termasuk oli, tidak pernah dilakukan. Ditambah dengan perilaku ngebut di jalan yang tidak berubah, maka kecelakaan tetap tidak dapat dihindarkan. Terlalu sering dan terlalu lama itu menjadi praktik di masyarakat. Maka wacana klasik antara sekala dan niskala itu harus berjalan beriringan. Tuhan pun akan kesulitan mengabulkan doa yang dilakukan manakala sikap sekala kita tidak pernah berubah, tidak di-state of the art-kan.

Baca juga:  Desember Tinggal Harapan

Kembali kepada Okokan dan Tektekan sebagai sebuah ritual. Ini adalah ‘’gunung pengetahuan’’ masyarakat Bali terhadap wabah. Maka dari situlah seharusnya ada inspirasi untuk mengembangkan pemberantasan wabah. Secara tradisionil leluhur sudah memberikan pengetahuan, maka generasi sekarang harus mengembangkannya, bukan mengulangi lagi ‘’notok’’ ritual seperti yang dilakukan manakala kembali ada wabah, tetapi mengembangkannya dalam bentuk yang lebih baru, lebih nyata, lebih mengena: penyebab dan obat dari wabah itu. Generasi baru yang sudah berpendidikan sekarang dengan pengalaman lebih luas dibanding generasi terdahulu semestinya bangga memamerkan kepada pendahulu telah ada pengembangan baru terhadap cara pemberantasan wabah, dengan dasar pada pesan tradisional seperti Tektekan atau Okokan tersebut.

Virus Corona tipe baru merupakan temuan terhadap penyebab dari wabah Covid-19. Vaksin masih belum ditemukan untuk mencegah penyebaran virus itu. Tetapi telah ditemukan cara untuk menghambat penyebarannya, yaitu apa yang disebut dengan jarak sosial. Terjemahan jarak sosial ini adalah tinggal di rumah, berbicara 1-2 meter, memakai masker, sering cuci tangan, tidak sok akrab dengan salaman pakai cium pipi kiri-kanan segala, termasuk juga memberi kuliah dari rumah.

Jika dibawa menuju ranah ritual Okokan atau Tektekan di atas, maka temuan dari ‘’gunung pengetahuan’’ itu adalah virus Corona tipe baru sebagai penyebab Covid-19 dan penjarakan sosial sebagai solusinya. Inilah temuan sekala yang harus kita sadarkan secara sekala juga dengan sikap yang disiplin.

Penulis, staf pengajar Sosiologi Fisip Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *