hibah
Ilustrasi. (BP/dok)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Dampak buruk pandemi COVID-19 tidak hanya dirasakan di sektor pariwisata. Dunia pendidikan juga sangat terdampak. Terutama sekolah atau pendidikan tinggi swasta. Pasalnya, keuangan sekolah swasta mengandalkan iuran SPP dari siswa/siswinya.  Di samping juga ada sejumlah bantuan dari pemerintah. Namun, karena segala kegiatan pendidikan ditunda dan siswa harus belajar dari rumah berbasis online, maka keadaan keuangan sekolah swasta sangat terganggu. Belum lagi siswa yang orang tuanya kehilangan pekerjaan tidak bisa membayar uang SPP. Sementara, kebijakan Gubernur Bali terkait Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDa) tidak kunjung cair yang akan diberikan ke sekolah swasta tak kunjung cair.

Situasi memprihatinkan ini dirasakan sejumlah SMK PGRI Badung yang berada di bawah YPLP Kabupaten PGRI Badung. Bahkan, sekolah swasta ini nyaris tanpa pendapatan dari uang SPP siswa selama 2 bulan terakhir (Maret dan April). Seperti yang dirasakan di SMK 1, 2 dan 3 PGRI Badung.

Baca juga:  Pendidikan Kacau, PGRI Karangasem Minta Langkah-langkah Ini Dilakukan

Di SMK PGRI 1 Badung, misalnya nyaris 100 % siswa mereka tidak membayar uang SPP selama 2 bulan terakhir. Sedangkan, di SMK PGRI 2 Badung hampir 80 %, dan di SMK PGRI 3 Badung hampir 85 % siswa mereka belum bisa membayar SPP. Namun demikian, ketiga sekolah tersebut tetap membayar honor pegawai dan pengajar mereka.

Ketua YPLP Kabupaten PGRI Badung, Dr. Drs. I Made Gde Putra Wijaya, SH.,M.Si., di dampingi Sekretaris I Gusti Ketut Sukadana, dan Bendahara Drs. I Made Tambun, M.Pd.H, mengatakan guna memutus rantai penyebaran COVID-19, proses pembelajaran siswa tetap dilaksanakan sesuai dengan instruksi pemerintah dan dinas pendidikan terkait. Namun, proses pembelajarannya berbasis daring (online). Dimana, para siswa belajar dari rumah. Oleh karena itu, gaji/honor pegawai maupun guru tetap dibayar selama pandemi COVID-19. Meskipun pendapatan sekolah nyaris tidak ada, karena siswa tidak membayar SPP. “Honor mereka (guru) tetap kami bayar sesuai jumlah mengajarnya. Kita tidak bisa mengelak untuk tidak membayar, karena mereka telah memenuhi kewajibannya mereka menjalankan tugas mereka,” tandas Putra Wijaya, Senin (27/4).

Baca juga:  Muncul, Pro Kontra Pemutusan Internet saat Nyepi

Pada kesempatan ini, Putra Wijaya, mempertanyakan dana BOSDa yang sempat diwacanakan oleh Gubernur Bali yang dianggarkan sebesar Rp 60 miliar untuk sekolah swasta maupun sekolah negeri. Dimana rinciannya, untuk siswa SMA dianggarkan sebesar Rp 700 ribu per kepala, SMK Rp 900 ribu, dan SLB sebesar Rp 4 juta. “Jujur saja kami sangat kesulitan membayar likuiditas honor mengajar guru,”tegasnya.

Sementara wacana pemerintah pusat untuk mengganti biaya SPP siswa sekolah swasta melalui dana Jaring Pengaman Sosial Pendidikan juga diragukan. Pasalnya, belum ada data pasti berapa jumlah yang akan diterima siswa. Belum lagi mekanisme dan kriteria siswa yang seperti apa yang akan berhak mendapatkan dana tersebut. Sebab, pendataannya belum dilakukan oleh instansi terkait. “Kalau memang diberikan SPP pengganti, sampai kapan dana tersebut akan diberikan, apakah selama pandemi Covid-19 ini akan diberikan? Karena kita belum tau kapan pandemi ini akan berakhir,”ungkapnya.

Baca juga:  Coki Gagal Rebut Tiket Olimpiade

Pada kesempatan ini, pihaknya berharap agar pemerintah lebih peduli terhadap keadaan sekolah swasta saat ini. Sebab, bagaimana pun juga sekolah swasta ikut andil dalam mencerdaskan generasi muda bangsa. Terlebih lagi, tahun ajaran 2019/2020 akan segera berakhir dan segera menyongsong tahun ajaran baru 2020/2021. (Winata/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *