Sugi Lanus. (BP/Istimewa)

Oleh: Sugi Lanus

Di masa lalu ketika terjadi wabah, pemegang pemerintahan mengundang pandhita, mpu, bendesa, balian usada, untuk mengadakan rapat terbatas dalam rangka merumuskan pararem atau pacingkreman sebagai protokol penanganan wabah. Isinya berupa pembatasan upakara, pengobatan, karantina, penguburan, dan upakara penyucian.

Jejak tertulis pokok-pokok protokol dari masa lalu tersebut terdapat dalam lontar jenis usada dan Widhi Sastra. Lontar usada yang mengandung protokol karatina dan pengendalian sosial terkait wabah, di antaranya Anda Kacacar, Usada Gede, Usada Ila, Usada Cukil Daki. Lontar jenis Widhi Sastra yang terkait penanganan wabah, di antaranya Widhi Sastra Swamandala dan Widhi Sastra Roga Sanghara Gumi.

Protokol Pelarangan Pujawali

Desa Bugbug, Karangasem, misalnya, memiliki lontar protokol penanganan wabah cacar, berjudul ‘’Anda Kacacar’’. Disebutkan pembatasan untuk tidak menyelenggarakan salwirning walikrama (segala jenis perayaan pura atau pujawali). Berikut kutipannya (hal. 1b):

‘’Ini pedoman sastra untuk diketahui umum, pedoman bagi pelayan dharma, memuat ajaran kebajikan buddhi (nalar), hendaknya dipahami oleh pemegang pemerintahan, pada saat berjangkit wabah penyakit cacar, ingatlah begini aturannya dunia: Jangan melaksanakan salwirning walikrama (segala macam pujawali), tidak juga melakukan pemujaan dengan weda-mantra di Pura-pura, sampai kemudian pulih datang wuku Dungulan  (perayaan Galungan)…’’

Lontar ini melarang penyelenggaraan pujawali ketika wabah. Setelah wabah reda dan situasi pulih dan datang wuku Dungulan (hari raya Galungan), penduduk baru diperbolehkan ke pura. Ini sejalan dengan nasihat lisan yang kita terima secara turun-temurun: ‘’Masang gering ten dados mesu. Meneng jumah’’ — Musim wabah tidak boleh keluar. Diam tenanglah di rumah.

Protokol Karantina

Untuk mengarantina dan mengisolasi penderita penyakit menular di masa lalu, disiapkan pondok-pondok sederhana di pantai, atau di luar desa yang jauh. Penderita penyakit menular dipersilakan meninggalkan desa, berpisah dengan keluarganya, dan tidak kembali ke desa sampai dinyatakan benar-benar sembuh. Lontar Usada Gede, menyebutkan (hal. 77a, 81a):

‘’…jika ada orang yang ditimpa penyakit menular itu, harus diusir oleh penguasa (raja), ditempatkan di pinggir pantai, jauh dari desa, tidak boleh dilihat oleh masyarakat desa, jangan dibiarkan lama-lama di desa, jika dibiarkan lama orang itu di desa, akibatnya semua dewa meninggalkan desa itu…’’

Baca juga:  Mengapresiasi Pengabdian Pahlawan Kemanusiaan

‘’…jika ada orang sakit demikian, patut diusir, ditempatkan di tepi laut, jangan diizinkan pulang ke desa, karena berakibat hilang kemakmuran negara, demikian menurut cerita dari Buana Keling.’’

Cerita lisan tentang wabah di masa lalu sama dengan dengan isi lontar ini, dikatakan bahwa karantina di masa lalu berbentuk ‘’pengucilan’’. Ditempatkan di kawasan sepi jauh dari desa, dilarang berkunjung ke desa, dilarang bertemu keluarganya.

Protokol Pengobatan

Seorang balian (dukun) dituntut sangat berhati-hati dan harus punya kualifikasi atau kemampuan yang mumpuni dalam menangani penyakit menular. Lontar Usada Ila menyebutkan:

‘’Janganlah balian sembarang memvonis dan mengatakan sakit itu gering agung, jika belum mendalami keputusan Sang Hyang Saraswati dan upacara pawitenan (pembersihan diri) dengan aksara suci dan ilmu pengetahuan tentang tubuh, demikian hendaknya syarat orang yang melaksanakan pengobatan.’’

Lontar Usada Cukil Daki menyebutkan: ‘’…sangat sulit mengobati penyakit lepra, bila tidak paham dengan jenis penyakit yang sebenarnya, jangan diteruskan untuk menangani, kemungkinan bisa menular penyakit-penyakit itu kepada yang mengobati… Lagi pula bila tidak tahu dengan katklaning gentha pinara pitu, buddha kcapi, dan sastra sanga, tidak akan bisa mengobati semua jenis penyakit lepra, sudah diputuskan oleh Sang Hyang Cukil Daki, di dalam alam tubuh beliau, jangan mengobati semua jenis penyakit lepra, besar bahayanya. Bagi yang mengobati, harus paham pengetahuan tubuh dan aksara suci dalam diri secara lahir-batin, menguasai pasukwtu…’’

Lontar-lontar usada banyak menyebutkan resep obat untuk wabah, tetapi sangat tergantung pada balian yang akan menjalankan terapinya. Sang balian dituntun menguasai ilmu pengobatan dan cara terapi yang tepat, agar tidak salah mendiagnosis, agar tidak tertular. Lontar-lontar tersebut juga menyebutkan kode etik balian agar tidak salah tuduh, salah diagnosis, dan tidak mengambil keuntungan dari orang yang terkena wabah.

Baca juga:  Dilihat dari Sejarah, Leluhur Bali Tinggalkan Beragam Protokol Penanganan Wabah

Protokol Sanksi Denda

Protokol wabah di masa lalu lengkap dengan sanksi berupa denda. Lontar Usada Gede (hal. 76b-77a) menyebutkan:

‘’Penguasa (raja) hendaknya memperhatikan sastra Kalimosada, untuk menangani orang yang disebut kena gering kuta marana. Selanjutnya, jika ada orang yang berani menyembunyikan orang yang kena penyakit menular, dikenai denda oleh raja, besarnya denda berupa uang 100.060 kepeng, demikian ajaran (ketentuan) Sang Hyang Kuta Marana.’’

Tidak main-main, sanksi denda 100.060 kepeng terhadap yang menyembunyikan penderita penyakit menular. Gering kuta marana sama dengan ‘’sakit/wabah besar’’. ‘’Kuta’’ artinya ‘’besar’’, juga berarti ‘’kota’’. Di samping berarti ‘’wabah besar’’, istilah ‘’gering kuta marana’’ juga mengandung arti ‘’penyakit kota’’. Wabah umumnya menyerang kawasan padat penduduk. Pasar menjadi titik simpul penularan penyakit. Di masa lalu pasar ditutup serempak ketika ada wabah.

Protokol Penguburan

Lontar Widhi Sastra Sang Hyang Swamandala berisi protokol penguburan korban wabah. Disebutkan, jika wabah menimbulkan korban banyak, maka warga desa diminta langsung menguburkan mayat tanpa perlu upakara yang serupa dengan situasi normal. Tidak boleh ada pengabenan (aywa wineh anyekeh sawa). Apa pun golongannya (nistha madya uttama wangsa), semua dikubur (pendemen juga swang-swang, aywa mreteka wangke). Hanya sulinggih yang tidak boleh dikubur, ngaben sangat sederhana, tidak boleh lama ditempatkan di rumah (aywa suwe ring greha).

‘’Mwah tekaning gering kameranan, rebah sang agering mati makuweh sadesa-desa, aywa mreteka wangke, pendem juga, sawangsa nista madya utama, yadyan pamongmong widhi, yan nora masurudayu, kapatak siwadwara nya de sang pandhita brahmana, dudu amangku widhi uttama, wenang pendem juga, ne tan wenang pendem sang brahmana pandhita, mangkana ling Bhatara Putrajaya jumeneng ring Basukih,… mangkana kajaring sastra, pakarya sira Mpu Kuturan, jumeneng ring Maospahit.’’

Lontar Yama Purwana Tattwa menyebutkan masyarakat boleh melakukan penguburan langsung tanpa upakara jika terjadi situasi: ‘’… diserang musuh, musibah penyakit, dan yang lainnya yang menyebabkan masyarakat kacau. Pelaksanaan penguburan tidak menghaturkan upakara pejati sebagaimana situasi normal… Orang yang mati tersebut sama dengan orang yang mati tidak wajar, antara lain mati salah mati; mati di sawah, mati tenggelam di sungai, serta mati karena penyakit lepra, semuanya masing-masing terikat oleh batas waktunya. Bila belum cukup batas waktunya untuk orang yang mati tidak wajar, itu tidak boleh diupacarai. Apabila diupacarai akan menimbulkan kekeringan di muka bumi, para dewa akan meninggalkan tempat suci…’’. Lontar ini selanjutnya menyebutkan orang yang meninggal karena lepra harus langsung dikubur dan baru boleh diupakarai setelah 25 tahun.

Baca juga:  Kapitalisasi Aset Budaya Bali

Protokol Doa dan Mantra

Pendeta dan masyarakat Bali sampai kini masih memakai pedoman protokol doa dan mantra dari masa lalu. Jika ada wabah, masyarakat dituntun untuk menghaturkan segehan, sangu, tawur, dll. dengan panduan puja ditujukan ke Sang Hyang Ganapati untuk memohon perlindungan keluarga dan krama. Hal tersebut disebutkan dalam Lontar Widhi Sastra Roga Sanghara Bumi dan Widhi Sastra Sang Hyang Swamandala. Para pendeta direkomendasikan untuk melakukan puja dengan mantra A¯ka¯s´a-Stava, Va¯yu-Stava, dan Tejo-Stava.

Berbagai lontar di atas menjadi bukti bagaimana leluhur sangat tanggap dan nalar dalam penanganan wabah di masa lalu. Dalam keterbatasan teknologi kesehatan, leluhur sangat berserius membentengi diri lahir batin, berdasar wiweka (nalar) dan bakti. Bahkan semua perayaan pujawali (salwirning walikrama) dilarang di masa wabah.

Berbagai pedoman penanganan penyakit dalam lontar-lontar warisan leluhur tersebut sudah sepatutnya menjadi sesuluh kita dalam menghadapi COVID-19. Leluhur telah teruji melewati berbagai wabah. Para tetua desa selalu mengingatkan: Leluhur kita sangat serius mapaiketan antardesa, menutup batas-batas desa bahkan sampai berbulan-bulan, bersepakat menjalankan brata isolasi diri. Jika saja mereka tidak serius, mungkin kita tidak pernah terlahir.

Penulis adalah budayawan pembaca manuskrip lontar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *