Prof. Wayan Ramantha. (BP/dok)

Oeh: I Wayan Ramantha

Virus Corona atau COVID-19 adalah penyakit yang tidak pernah terbayangkan bagi setiap umat manusia, termasuk mereka yang ahli pada bidang kesehatan. Bencana yang ditimbulkannya dalam jangka pendek telah berimplikasi pada perubahan drastis dalam waktu yang amat singkat di berbagai bidang.

Kontak sosial dan ekonomi antarsesama yang biasanya di Bali demikian padat, hampir 24 jam dalam sehari, seketika harus dibatasi. Sekolah dan kantor ditutup sehingga siap atau tidak, kita mesti belajar, bekerja, sembahyang dan bahkan berbelanja dari rumah.

Pasar dan toko, jam operasionalnya dibatasi, para pengusaha menjadi kelabakan, tidak hanya pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, tetapi juga pengusaha besar sangat merasakan dampaknya. Bahkan perusahaan yang terkait dengan pariwisata seperti hotel, vila dan toko oleh-oleh, tanpa diimbau pun mereka akan tutup karena tidak hanya sepi, tetapi memang kosong pengunjung.

Kecuali hotel yang diminta sebagai rumah singgah bagi orang dalam pemantauan (ODP) dan orang tanpa gejala (OTG) terkait penanganan Covid-19. Dunia usaha di Bali yang dominan terkait langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata memang kenyang dengan pengalaman.

Baca juga:  Kartini di Era Disrupsi Digital

Mulai dari krisis ekonomi global, bom, hingga bencana alam erupsi Gunung Agung. Tetapi kali ini, pukulan Covid-19 jauh lebih melumpuhkan jika dibandingkan dengan tantangan yang lain.

Berbagai kebijakan pemerintah seperti bantuan santunan pekerja yang dirumahkan, keringanan tarif pajak hingga relaksasi pinjaman perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan memang harus dihargai. Tetapi bantuan-bantuan itu sebetulnya belum cukup untuk menjadikan sektor swasta dapat menjaga keberlanjutan (sustainability) usahanya. Terutama bila bencana ini berlangsung lama.

Pernyataan Wakil Gubernur Bali yang akrab dipanggil Cok Ace (BP, 28/4/2020), bahwa kita harus optimis Bali akan mampu melewati rintangan ini, memang harus kita yakini dan dukung bersama. Namun bersamaan dengan itu, kita juga harus belajar dari pengalaman yang kita hadapi saat ini, termasuk di bidang manajemen keuangan usaha, terutama di sektor swasta.

Perusahaan-perusahaan swasta di Bali perlu melakukan reengineering, yaitu pemikiran ulang secara fundamental dan perencanaan ulang secara radikal atas manajemen keuangannya, terutama ke arah penataan keberlanjutan usaha dengan risiko yang termitigasi. Sektor usaha swasta mungkin bisa meniru manajemen keuangan Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), bahkan mungkin juga dapat meniru Lembaga Perkreditan Desa (LPD), terutama yang terkait dengan kebijakan menjaga keberlanjutan usaha.

Baca juga:  Omicron Sama Parah dengan Varian Sebelumnya

Dalam manajemen keuangan BUMN/D ataupun LPD, terdapat kebijakan pembentukan cadangan modal, cadangan risiko, cadangan sosial dan sejenisnya. Kemudian saat terjadi bencana seperti ini, Perumda Air Minum (PAM), misalnya, masih bisa memberikan air gratis kepada pelanggan yang berhak. LPD masih bisa membagikan sembako gratis kepada seluruh warga desa adat, tanpa mengganggu keberlanjutan usahanya. Karena pada saat kondisi normal, mereka telah membentuk berbagai macam cadangan.

Berbicara manajemen keberlanjutan usaha, sebetulnya tidak ada kesepakatan bulat tentang apa yang seharusnya dilakukan, apalagi yang bersifat universal. Elkington (1994) di tingkat global menganjurkan dunia usaha untuk menjaga keberlanjutannya dengan memperhatikan Triple Bottom Line yang disebut 3P (Profit, People, Planet).

Jadi perusahaan sebaiknya tidak hanya memikirkan keuntungan saja, tetapi juga kemanusiaan dan lingkungan alam sekitar. Demi keberlanjutan usaha, termasuk pada usaha swasta, dianjurkan membentuk berbagai macam cadangan.

Pada kearifan lokal Bali, bahkan LPD sejak tahun 1984 telah mengalokasikan labanya berdasarkan konsep Tri Warga untuk mengimplementasikan Catur Purusa Artha. Artinya, untuk memperoleh kesempurnaan (Moksa), LPD menggunakan labanya 60 persen untuk menambah cadangan modal (Artha untuk Artha), 20 persen untuk desa adat dan 5 persen untuk dana sosial (Artha untuk Dharma), serta 10 persen untuk jasa produksi (Artha untuk Kama). Alokasi berdasarkan Tri Marga itu, sama dengan Triple Bottom Line.

Baca juga:  Menjaring Suara Perempuan

Konsep Tri Marga bahkan terimplementasikan 10 tahun lebih awal dibandingkan Triple Bottom Line.

Turbulensi lingkungan usaha yang intensitasnya semakin sering, tidak boleh sampai mengganggu keberlanjutan usaha sektor swasta. Selain melakukan rekayasa ulang atas manajemen keuangan, para pelaku usaha di Bali pada saatnya nanti, tetap perlu melakukan diversifikasi usaha pada berbagai sektor ekonomi untuk menghadapi risiko yang mungkin pada suatu saat akan terjadi.

Terutama jangan hanya di sektor pariwisata saja. Pepatah mengatakan don’t put your egg in one basket, karena bila terjadi suatu risiko, sektor swasta akan tetap dapat menjaga keberlanjutan atau sustainability usahanya.

Penulis, pelaku usaha dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unud

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *